JAKARTA – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat nilai transaksi yang diduga terkait tindak pidana aliran dana korupsi sepanjang 2024 mencapai Rp984 triliun.
Angka ini menempatkan korupsi sebagai kejahatan dengan nilai transaksi tertinggi, melampaui pelanggaran perpajakan, perjudian, dan peredaran narkotika.
Berdasarkan hasil National Risk Assessment (NRA) tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), PPATK mencatat total transaksi mencurigakan dari berbagai tindak pidana mencapai Rp1.459 triliun.
Dari jumlah tersebut, korupsi mendominasi dengan nilai Rp984 triliun, diikuti oleh pelanggaran perpajakan sebesar Rp301 triliun, perjudian Rp68 triliun, dan peredaran narkotika Rp9,75 triliun.
“Negara harus memberikan fokus utama dalam memberantas tindak pidana tersebut,” ujar Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana dalam acara peringatan Gerakan Nasional Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) ke-23
Korupsi Jadi Ancaman Serius bagi Negara
Angka Rp984 triliun bukan sekadar nominal, melainkan cerminan betapa masifnya ancaman korupsi terhadap perekonomian dan keadilan sosial di Indonesia. Aktivis Kolaborasi Rakyat Jakarta, Andi Sinulingga, menyebut jumlah ini nyaris sepertiga dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Nyaris seribu triliun, hampir 1/3 APBN. Luar biasa,” tulis Andi di akun X-nya, @AndiSinulingga, pada 21 April 2025.
Menurut Andi, temuan ini menunjukkan korupsi telah menjadi masalah sistemik yang menggerogoti fondasi negara. Ia meminta pemerintah untuk bertindak tegas demi melindungi kepentingan rakyat.
Kolaborasi Lintas Instansi Jadi Kunci
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa data dari PPATK sangat membantu upaya pemberantasan korupsi.
“Dukungan hasil analisis dan hasil pemeriksaan PPATK sangat membantu KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi, hingga akarnya,” kata Setyo.
Kerja sama antara KPK dan PPATK telah terjalin lama, terutama dalam melacak aliran dana mencurigakan yang menjadi jejak para pelaku korupsi. Dengan teknologi dan analisis keuangan yang canggih, PPATK mampu mengidentifikasi pola transaksi yang tidak wajar, sehingga memudahkan penegakan hukum.
Efek Jera dan Pemulihan Aset
Meski temuan PPATK menjadi langkah besar dalam memetakan korupsi, tantangan ke depan masih besar. Hukuman yang belum memberikan efek jera dan lambatnya pemulihan aset negara menjadi sorotan. Data KPK menunjukkan, pada periode 2020–2024, pengembalian kerugian negara melalui asset recovery baru mencapai Rp2,5 triliun—angka yang jauh lebih kecil dibandingkan kerugian akibat korupsi.
Selain itu, rendahnya vonis bagi pelaku korupsi juga menjadi masalah. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata hukuman penjara untuk terdakwa korupsi pada 2022 hanya 3 tahun 4 bulan. Hal ini memicu pertanyaan: apakah hukuman tersebut cukup untuk membuat pelaku jera
Tindakan Tegas Pemerintah
Temuan PPATK ini memicu reaksi keras dari masyarakat. Banyak yang mendesak pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, untuk mengambil langkah konkret. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, bahkan secara terbuka meminta Prabowo menindak tegas pelaku korupsi. “Rakyat sudah tak tahan,” tegas Susi.
Di tengah tekanan publik, pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga memperkuat sistem pencegahan. Langkah strategis seperti akselerasi lelang aset sitaan, pengelolaan aset yang lebih transparan, dan pengesahan undang-undang perampasan aset menjadi kunci untuk memutus rantai korupsi.
PPATK dan KPK menegaskan bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Masyarakat diajak untuk lebih kritis terhadap transaksi mencurigakan di lingkungan sekitar dan melaporkannya ke pihak berwenang.
Dengan angka Rp984 triliun yang mengguncang, kini saatnya Indonesia bersatu melawan korupsi. Akankah 2025 menjadi tahun di mana korupsi mulai diberantas hingga ke akarnya? Semua mata kini tertuju pada langkah nyata pemerintah.