JAKARTA – Agenda diplomasi hari ini, Rabu (3/9) di Tiongkok mengandung pesan yang amat kuat. Presiden Prabowo Subianto duduk sejajar dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin di panggung utama (podium) parade militer. Formasi Xi-Putin-Prabowo bukan sekadar tata tempat, melainkan pengakuan bahwa Indonesia kini ditempatkan dalam lingkaran inti percaturan global.
Lebih istimewa lagi, Presiden Prabowo menjadi tamu terakhir yang tiba di lokasi. Ini adalah sebuah ‘gesture’ diplomatik yang di banyak tradisi berarti penghormatan yang tinggi. Biasanya, tamu terakhir yang ditunggu adalah tamu paling dihormati. Ini mencerminkan posisi Indonesia yang kini diperlakukan setara oleh kekuatan-kekuatan besar dunia.
Secara historis, peristiwa ini mengingatkan pada peran Indonesia di masa Presiden Soekarno. Pada tahun 1955, Bandung menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika, sebuah tonggak sejarah di mana negara-negara baru merdeka berani menyuarakan kemandirian politik, menolak dikotomi blok Barat-Timur, dan memperkenalkan konsep Non-Aligned Movement. Kala itu, Soekarno menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi penonton, melainkan penggerak tatanan dunia baru.
Hari ini, tujuh dekade kemudian, gema sejarah itu terasa kembali. Di tengah ketegangan geopolitik dan pergeseran arsitektur global, Indonesia kembali dipandang sebagai mitra strategis yang mampu menjembatani kekuatan besar, sekaligus menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang.
Bagi rakyat Indonesia, simbol ini bukan sekadar seremoni, melainkan pengingat bahwa negeri kita memiliki tradisi panjang sebagai bangsa yang diperhitungkan dunia. Saat ini, Indonesia sekali lagi menunjukkan bahwa suaranya penting, dihormati, dan berkontribusi pada arah masa depan global.**

