JAKARTA – Presiden AS Donald Trump melemparkan bom waktu ke panggung perdamaian Timur Tengah dengan memberi ultimatum tegas kepada Hamas: terima rencana perdamaian berpoin 20 yang didukung AS dalam tiga hingga empat hari ke depan, atau bersiaplah menyambut “akhir yang sangat sedih” bagi kelompok militan Islamis itu. Pernyataan keras Trump ini disampaikan di Gedung Putih, Selasa (30/9/2025), di tengah harapan rapuh untuk mengakhiri konflik berdarah yang telah merenggut nyawa ribuan jiwa selama dua tahun terakhir di Jalur Gaza.
Rencana kontroversial ini, yang disebut Trump sebagai “kunci akhir” bagi perang yang meletus sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, telah mendapat lampu hijau dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dalam pertemuan dramatis di Gedung Putih, Netanyahu muncul berdampingan dengan Trump dan menyatakan dukungan penuh, menyebutnya memenuhi “tujuan perang Israel”. Mediator utama, Qatar dan Mesir, langsung membagikan dokumen itu kepada Hamas pada Senin malam, meski kelompok tersebut tak dilibatkan sejak awal negosiasi.
Isi Rencana: Gencatan Senjata Instan, tapi dengan Syarat Berat
Dokumen 20 poin itu menjanjikan gencatan senjata segera, pertukaran sandera Hamas dengan tahanan Palestina di Israel, penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza, pelucutan senjata total bagi Hamas, serta pembentukan pemerintahan transisi di bawah pengawasan badan internasional. “Pemimpin Israel dan Arab sudah menyetujui. Kami hanya menunggu Hamas,” tegas Trump kepada wartawan di Washington, sambil memberikan tenggat waktu singkat. “Hamas harus memilih: ikut atau tidak. Kalau tidak, akibatnya akan sangat menyedihkan,” tambahnya saat meninggalkan Gedung Putih, menepis kemungkinan negosiasi lanjutan dengan jawaban singkat: “Tidak banyak ruang.”
Namun, suara dari kubu Hamas tak kalah getir. Seorang pejabat dekat kelompok itu yang tak ingin disebut namanya menyebut rencana ini “sepenuhnya berat sebelah ke Israel” dan memaksakan “kondisi mustahil” yang bertujuan memusnahkan Hamas. “Ini adopsi penuh tuntutan Israel, tanpa hak sah bagi rakyat Palestina atau warga Gaza,” keluhkan seorang pejabat Palestina anonim kepada Reuters. Meski begitu, seorang sumber internal Hamas menjanjikan tinjauan “dengan itikad baik” dan respons segera.
Dilansir dari Reuters, elemen-elemen kunci seperti gencatan senjata dan pertukaran tahanan memang sering muncul di proposal sebelumnya selama dua tahun konflik, tapi kerap gagal karena penolakan bergantian dari kedua belah pihak. Hamas sejak awal bersikukuh pada penarikan penuh Israel dari Gaza sebagai imbalan pembebasan 251 sandera, sambil menolak pelucutan senjata meski siap serahkan kendali administratif.
Tekanan Global Meningkat, Turki Ikut Campur
Hamas kini berada di persimpangan jalan berbahaya, dikelilingi tekanan luar biasa. Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Mesir secara bulat menyambut inisiatif Trump. Bahkan, Turki—yang selama ini absen sebagai mediator utama—akan bergabung dalam diskusi di Doha, Qatar, pada Selasa malam ini, menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar. Pertemuan ini melibatkan kepala intelijen Turki bersama mediator Qatar dan Mesir, meski belum jelas apakah Hamas akan hadir. Ironisnya, pertemuan serupa di Qatar dua tahun lalu nyaris berujung tragedi: Israel gagal membunuh para pemimpin Hamas dengan serangan rudal pada 9 September, yang kini diakui Netanyahu dengan permintaan maaf kepada Qatar.
Di sisi Israel, Netanyahu menghadapi dilema panas. Meski awalnya mendukung, ia kemudian ragu-ragu soal prospek negara Palestina di masa depan—sesuatu yang ia tolak berulang kali. Publik Israel yang lelah perang mendesak akhir konflik, tapi koalisi pemerintahannya bisa runtuh jika menteri sayap kanan ekstrem merasa ia terlalu lunak.
Suara Rakyat Gaza: Harapan Campur Curiga
Di lapangan Gaza, respons campur aduk. Beberapa warga menyambut rencana Trump sebagai “penyelamat” dari bombardir mematikan yang telah menewaskan lebih dari 66.000 jiwa menurut otoritas kesehatan Gaza—sebagai balasan atas serangan Hamas yang membunuh 1.200 warga Israel dan culik 251 orang. “Kami ingin perang berakhir, tapi tentara pendudukan yang membantai puluhan ribu kami harus pergi dan biarkan kami tenang,” ujar Salah Abu Amr, 60 tahun, ayah enam anak dari Gaza City, melalui aplikasi obrolan ke Reuters. “Kami berharap rencana ini mengakhiri perang, tapi kami ragu. Baik Trump maupun Netanyahu tak bisa dipercaya.”
Sementara itu, kekerasan tak kunjung reda. Pasukan Israel mendorong lebih dalam ke pusat Gaza City—benteng terakhir Hamas menurut Netanyahu—dengan pesawat tempur menjatuhkan brosur peringatan berwarna merah: “Pertempuran melawan Hamas bersifat penentu dan tak akan berakhir sampai mereka dikalahkan. Segera evakuasi ke selatan!” Seruan itu menggema di tengah gemuruh artileri, menambah ketegangan di enclave yang hancur lebur.
Dengan tenggat Trump yang kian dekat, dunia menahan napas: apakah ini titik balik damai, atau bara baru bagi konflik abadi? Hamas punya waktu singkat untuk memutuskan nasib Gaza—dan mungkin, nasib ribuan nyawa yang bergantung padanya.




