JAKARTA – Harga beras di Jepang terus melambung tinggi dan kini mencatatkan kenaikan hingga 99,2 persen pada Juni 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Fenomena ini memperkuat sorotan publik terhadap Perdana Menteri Shigeru Ishiba, apalagi pemilu nasional dijadwalkan berlangsung akhir pekan ini.
Meskipun inflasi inti secara keseluruhan mengalami perlambatan, lonjakan harga pangan pokok tetap menimbulkan keresahan luas.
Kenaikan harga beras di Jepang ini bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan hasil dari tren yang telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir.
Pada Mei lalu, harga beras sempat melonjak hingga 101 persen, sementara pada April dan Maret tercatat masing-masing 98,4 persen dan 92,5 persen.
Angka-angka tersebut menjadi sinyal serius bahwa tekanan pada sektor pangan belum mereda.
Menurut data resmi dari Kementerian Urusan Dalam Negeri, inflasi inti Jepang melambat menjadi 3,3 persen pada Juni, turun dari 3,7 persen pada Mei, sedikit di bawah proyeksi pasar sebesar 3,4 persen.
Namun, melambatnya inflasi belum cukup meredam keresahan publik terkait harga beras Jepang yang terus naik.
Faktor Penyebab dan Dampak Sosial
Kondisi ekstrem yang terjadi dua tahun lalu menjadi pemicu utama krisis beras saat ini.
Musim panas yang terik dan kekeringan parah menyebabkan kegagalan panen secara luas, memperparah distribusi pasokan nasional.
Situasi ini semakin pelik ketika sejumlah pedagang ditengarai melakukan penimbunan beras demi meraih keuntungan saat harga naik drastis.
Krisis ini juga berkaitan dengan kepanikan massal tahun lalu yang dipicu oleh peringatan pemerintah soal potensi terjadinya “megagempa”.
Meski bencana itu tak terjadi, panic buying yang menyertainya menciptakan ketimpangan pasokan yang masih dirasakan hingga kini.
Respon Pemerintah dan Dampak Politik
Sebagai bentuk mitigasi, pemerintah Jepang mengambil langkah tak lazim dengan membuka stok darurat beras sejak Februari 2025.
Langkah ini umumnya hanya ditempuh dalam situasi bencana nasional, namun kini menjadi opsi darurat akibat tekanan pasar yang luar biasa tinggi.
Tingginya harga beras telah menjadi isu politik yang mendesak.
Tekanan terhadap PM Shigeru Ishiba meningkat tajam, mengingat sektor pangan adalah urat nadi stabilitas sosial.
Dalam situasi menjelang pemilu, kebijakan pangan menjadi salah satu penentu persepsi publik terhadap kinerja pemerintahan.
Krisis beras di Jepang mencerminkan rapuhnya sistem ketahanan pangan dalam menghadapi cuaca ekstrem dan gejolak sosial.
Jika tidak diantisipasi secara komprehensif, gejolak serupa bisa kembali berulang, apalagi Jepang rentan terhadap bencana alam.
Kebijakan jangka pendek perlu ditopang dengan reformasi pertanian dan distribusi pangan nasional.***