TEL AVIV, ISRAEL – Israel mengumumkan kebijakan baru yang mengizinkan negara-negara asing menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza melalui jalur udara, mulai Jumat (25/7) waktu setempat.
Langkah ini diambil di tengah tekanan internasional atas krisis kemanusiaan yang memburuk di wilayah tersebut, dengan laporan kelaparan massal yang kian mengkhawatirkan.
Koordinator Kegiatan Pemerintah Israel di Wilayah Teritori (COGAT), Yordania dan Uni Emirat Arab (UEA) menjadi negara pertama yang diizinkan melanjutkan pengiriman bantuan melalui udara, sebagaimana pernah dilakukan kedua negara tersebut pada tahun lalu.
“Penerjunan bantuan melalui udara tersebut sedang dikoordinasikan dengan IDF,” ujar pernyataan resmi COGAT, dikutip dari Times of Israel.
Yordania disebut akan memulai pengiriman pertama dalam waktu dekat. Kebijakan ini muncul setelah Israel menghadapi kritik keras atas blokade ketat yang diberlakukan sejak Maret lalu, yang memicu krisis pangan di Gaza.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 100 warga meninggal akibat kelaparan, sementara UNICEF mencatat 5.000 anak menderita malnutrisi akut dalam dua minggu pertama Juli.
Meski blokade dilonggarkan pada Mei, pembatasan ketat masih mempersulit distribusi bantuan, termasuk susu formula bayi dan kebutuhan pangan esensial.
Pengiriman bantuan via udara ini bukanlah yang pertama. Tahun lalu, Yordania, Mesir, Prancis, dan Amerika Serikat berhasil menyalurkan puluhan ribu paket makanan ke Gaza utara melalui metode serupa.
Namun, Israel tetap bersikukuh bahwa pengawasan ketat diperlukan untuk mencegah bantuan jatuh ke tangan kelompok militan seperti Hamas, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Hamas dan didukung oleh PBB serta USAID.
Keputusan Israel ini disambut beragam. Di satu sisi, langkah ini dianggap sebagai upaya meredakan tekanan global. Di sisi lain, organisasi bantuan seperti World Central Kitchen, yang menghentikan operasinya di Gaza pada November lalu setelah serangan udara Israel menewaskan pekerjanya, menyerukan transparansi dan akses yang lebih luas untuk memastikan bantuan sampai ke warga sipil.
Krisis kemanusiaan di Gaza terus menjadi sorotan dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus memperingatkan bahwa kelaparan massal di Gaza diperparah oleh blokade yang berkepanjangan.
Sementara itu, Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), yang didukung Israel dan AS, menuai kritik dari PBB karena dianggap kurang transparan dalam distribusi bantuan.
Dengan dibukanya jalur udara ini, harapan muncul agar bantuan kemanusiaan dapat menjangkau lebih banyak warga Gaza yang terdampak.
Namun, tantangan logistik dan keamanan masih menjadi hambatan besar dalam menangani krisis yang telah merenggut banyak nyawa ini.




