JAKARTA – Dany Prihandoko, atlet Kempo peraih emas SEA Games, kini dikenal luas bukan hanya karena prestasinya di arena bela diri, tetapi juga sebagai penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Sosok kelahiran 1990 ini telah menekuni Shorinji Kempo—seni bela diri asal Jepang—selama lebih dari dua dekade. Perjalanan panjangnya membuktikan bahwa kemenangan sejati tidak hanya diraih di podium, melainkan juga dalam dunia pendidikan.
Lebih dari separuh hidupnya ia dedikasikan untuk Kempo, dari latihan di dojo kecil hingga tampil di ajang internasional.
Namun, Dany menilai prestasi olahraga hanyalah satu bab dari perjalanan hidupnya. Tantangan berikutnya, menurutnya, adalah bagaimana menjadikan pendidikan sebagai “medali emas” yang sesungguhnya.
“Jadi atlet itu tidak berhenti di pertandingan. Banyak yang lupa menang dalam hidup. Pendidikanlah yang membantu saya menyadari transisi itu,” ujar Dany dikutip Laman Kemenkeu RI, Rabu (17/9/2025).
Awal Perjalanan Bersama Shorinji Kempo
Saat ini Dany rutin melatih Shorinji Kempo di Dojo Rawasari, GOR Cempaka Putih, Jakarta.
“Saya latihan dari kecil di sini. Dari 2004, ternyata sudah 21 tahun ikut Kempo,” kenangnya.
Awalnya, orang tuanya sempat mendorongnya ke sekolah sepak bola.
Namun, cedera tulang saat SD membuatnya harus membatasi aktivitas fisik. Perkenalan dengan Kempo saat SMP mengubah segalanya.
Meski awal latihan membuatnya pucat hingga muntah, tekadnya berbuah manis setelah berhasil meraih medali emas di kejuaraan antar-dojo.
Dari situlah orang tua akhirnya merestui pilihannya.
Bagi Dany, Kempo bukan sekadar teknik bela diri.
Ia menyerap filosofi yang terkandung di dalamnya: disiplin, keberanian, dan pembentukan karakter.
“Risikonya jelas, bisa hidung patah, gigi pecah, lengan lebam. Tapi dengan latihan yang baik, risiko bisa dikurangi. Lebih dari itu, Kempo membentuk pribadi kita,” tuturnya.
Prestasi Emas dan Perjalanan Internasional
Jejak prestasi internasionalnya dimulai pada 2009 saat menjadi runner-up Kejuaraan Dunia Sabuk Hitam Dan-1 di Bali.
Setahun kemudian, ia bergabung dengan tim nasional untuk SEA Games 2011.
Meski kuliah sempat terganggu hingga IPK jatuh ke 1,7, ia tetap lulus tepat waktu.
Pada SEA Games 2011, Dany menyumbangkan emas di nomor pasangan putra.
Ia kemudian meraih predikat atlet terbaik 2012 dan kembali mempersembahkan emas di nomor beregu putra pada SEA Games 2013 di Myanmar.
Titik Balik: Dari Arena ke Akademisi
Setelah menuntaskan PON 2016, Dany memutuskan mengakhiri karier kompetitifnya.
Ia lalu mengalihkan fokus ke pendidikan, mengajukan proposal penelitian olahraga sebagai sarana pencegahan diabetes.
Setelah beberapa kali gagal, akhirnya ia meraih beasiswa LPDP pada 2019 dan berangkat ke University of Edinburgh, Inggris, untuk studi Physical Activity for Health.
Pengalaman itu membuatnya semakin yakin bahwa kemenangan terbesar adalah saat ilmunya bermanfaat bagi banyak orang.
Kembali Mengabdi lewat Dojo dan Pendidikan
Sekembali dari Edinburgh, Dany sempat berkecimpung di sektor kesehatan digital sebelum akhirnya kembali ke dunia olahraga sebagai pelatih di KONI DKI Jakarta.
Kini, ia tengah fokus mempersiapkan tim Kempo DKI Jakarta menuju PON 2028.
“Jadi pelatih stresnya lebih tinggi daripada jadi atlet. Waktu jadi atlet saya tidak pernah kena maag, tapi sekarang sering minum obat lambung,” ujarnya sambil bercanda.
Meski begitu, ia menekankan bahwa peran pelatih lebih luas daripada sekadar memberi instruksi teknik.
“Seperti menempa pedang, kita harus pilih material terbaik, bentuk, lalu asah sampai ke puncak performa,” jelasnya.
Pesan untuk Generasi Muda
Dany menargetkan anak-anak didiknya dapat membawa pulang gelar juara umum PON 2028.
Lebih jauh, ia bercita-cita mengembangkan olahraga berbasis kesehatan, khususnya Kempo, di Sukabumi.
Ia pun menegaskan pentingnya keseimbangan antara fisik dan mental untuk menyongsong Indonesia Emas.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Dua-duanya harus seimbang. Kalau jiwa baik tapi fisik lemah, bagaimana bisa mencapai Indonesia Emas?” tegasnya.
“Jangan hanya jadi juara di arena, tapi juga juara dalam kehidupan. Pendidikan membuka jalan itu. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain,” pesannya.***