Pulau Sebayur Besar, sebuah pulau kecil di perairan Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang seharusnya menjadi zona penyangga Taman Nasional (TN) Komodo, kini menjadi sorotan nasional. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap praktik tambang emas ilegal yang diduga telah beroperasi selama 15 tahun sejak 2010.
Penemuan ini bukan hanya mengguncang dunia pariwisata Flores, tapi juga memicu dugaan keterlibatan oknum aparat. Hingga awal Desember 2025, penyelidikan masih bergulir, dengan Polda NTT membuka layanan pengaduan untuk mengusut tuntas jaringan di baliknya.
Penemuan KPK: Lubang Emas di Balik Keindahan Komodo
Semuanya bermula dari sidak Satuan Tugas (Satgas) KPK pada Kamis, 27 November 2025. Tim KPK, yang sedang menyelidiki kasus korupsi terkait izin lingkungan di kawasan Komodo, secara tak sengaja menemukan bekas galian tambang emas ilegal di Pulau Sebayur Besar. Lokasi ini hanya berjarak beberapa kilometer dari TN Komodo, situs warisan dunia UNESCO yang menjadi ikon pariwisata Indonesia.
Menurut pengakuan mantan pekerja tambang yang diwawancarai di Labuan Bajo pada 1 Desember 2025, operasi tambang ini skala besar dan terorganisir. “Ada dua mata bor utama, dan hasilnya bisa mencapai 100 karung seminggu,” ungkap salah satu eks pekerja yang hanya dibayar Rp400 ribu per hari—dan itu pun tak lunas.
Proses penambangan melibatkan pengeboran hingga kedalaman 50 meter, menciptakan terowongan dan lubang berukuran 1,5 meter yang dilengkapi tangga permanen untuk akses mudah.
Material emas mentah diangkut dengan gerobak sejauh satu kilometer ke pantai, dicuci menggunakan cairan merkuri, lalu dilebur menjadi lumpur emas yang disaring dengan kain. Hasil akhir dikirim ke Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui jalur laut Sape-Sumbawa.
Lahan tambang diduga dimiliki oleh Haji Idris, dengan enam pekerja tetap: empat dari NTB (dua dari Pulau Mesah) dan dua warga lokal Labuan Bajo. Bukti fisik yang ditemukan KPK termasuk pipa besar, drum penampung, dan gudang penyimpanan—semua menandakan operasi yang sudah matang dan tak terdeteksi selama bertahun-tahun.
Polisi Cek Lokasi, Aktivitas Sudah Mati?
Hingga 3 Desember 2025, Polda NTT telah melakukan pengecekan langsung ke lokasi pada akhir November 2025, menyusul temuan KPK. Hasilnya mengejutkan: tidak ada aktivitas penambangan aktif. “Hanya bekas galian lama yang sudah ditutup beton,” ujar Kabid Humas Polda NTT, Kombes Henry, pada 2 Desember 2025.
Polres Manggarai Barat juga turun tangan, mengonfirmasi adanya bekas galian tapi tanpa tanda-tanda operasi baru. Meski demikian, dugaan bekingan oknum polisi dari Polres Manggarai Barat semakin kuat, berdasarkan kesaksian mantan pekerja yang menyebut “perlindungan” dari aparat setempat.
Untuk merespons tudingan ini, Polda NTT membuka layanan pengaduan khusus melalui aplikasi Propam Presisi, website propam.polri.go.id, atau langsung ke kantor. “Kami zero tolerance terhadap oknum. Laporkan bukti konkret, kami akan tindak tegas,” tegas perwakilan Polda.
Sementara itu, Gakkum (Gugus Tugas Penegakan Hukum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemenhut) mengancam penutupan paksa jika ditemukan aktivitas serupa di kawasan konservasi.
Ancaman bagi Komodo, Harapan bagi Penegakan Hukum
Kasus tambang emas ilegal ini mengungkap lubang hitam dalam pengawasan kawasan konservasi Indonesia. Selama 15 tahun, operasi ini lolos dari radar, diduga karena jaringan perlindungan yang melibatkan oknum lokal. Kerugian negara diperkirakan mencapai miliaran rupiah dari pajak dan royalti yang hilang, belum lagi degradasi lingkungan yang sulit dipulihkan.
KPK berjanji akan mendalami aspek korupsi, termasuk izin lingkungan fiktif dan alur distribusi emas. Sementara Polda NTT menargetkan penyelidikan selesai dalam waktu dekat, dengan harapan penangkapan pelaku utama. Masyarakat Labuan Bajo pun mulai bersuara, menuntut penguatan patroli di pulau-pulau kecil untuk mencegah kasus serupa.