JAKARTA – Kejaksaan Agung mengonfirmasi pengembalian dana korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek era Menteri Nadiem Makarim, baik dalam rupiah maupun dolar AS. Namun, jumlah dan identitas pengembali masih dirahasiakan dan akan diumumkan saat persidangan.
Pengembalian ini menjadi titik terang di tengah sorotan publik terhadap program digitalisasi pendidikan nasional periode 2019-2022. Kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp 1,98 triliun ini telah menjerat lima tersangka, termasuk nama besar Nadiem Makarim. Kejagung menegaskan, uang tersebut berasal dari pihak-pihak yang diduga terlibat, mencakup vendor pemasok hingga oknum di internal kementerian.
Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna membuka suara soal perkembangan ini saat ditemui di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (10/10/2025). “Ada beberapa pengembalian uang baik dalam bentuk rupiah atau dolar informasinya. Tapi jumlah pastinya nanti di persidangan lah dari pihak-pihak yang baik itu dari vendor atau dari pihak kementerian,” kata Anang Supriatna.
Lebih lanjut, Anang menyinggung kemungkinan keterlibatan internal Kemendikbudristek dalam aliran dana haram tersebut. “Mungkin ada yang menerima, ada pihak yang menerima. Pihak-pihak di dalam (Kemendikbudristek) itu ada yang menerima, ya,” ujar Anang.
Kasus ini mencuat sejak Kejagung menetapkan lima tersangka pada awal investigasi. Selain Nadiem Makarim sebagai eks Menteri Kemendikbudristek, tersangka lainnya meliputi Jurist Tan (eks Staf Khusus Mendikbudristek 2020-2024), Ibrahim Arief (mantan konsultan teknologi Kemendikbudristek), Sri Wahyuningsih (eks Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek), serta Mulyatsyah (eks Direktur Sekolah Menengah Pertama Kemendikbudristek). Dugaan korupsi ini berpusat pada pengadaan laptop Chromebook yang seharusnya mendukung transformasi digital sekolah, tapi malah dikorupsi.
Menariknya, Nadiem Makarim tak tinggal diam. Ia telah mengajukan praperadilan ke pengadilan untuk membatalkan status tersangkanya, dengan argumen bahwa penetapan tersebut tidak sah secara hukum. Sidang praperadilan ini dipantau ketat, karena berpotensi mengubah arah kasus besar yang menyeret elite pendidikan nasional.
Pengembalian dana ini menunjukkan komitmen Kejagung dalam upaya pemulihan aset negara dari praktik korupsi. Namun, publik menanti transparansi lebih lanjut, terutama soal bagaimana dana Rp 1,98 triliun itu bisa bocor dari program yang dirancang untuk kemajuan pendidikan anak bangsa. Apakah ini langkah awal menuju keadilan penuh, atau masih ada lapisan misteri yang harus diungkap?
Kejagung menjanjikan update berkala seiring proses hukum berlanjut. Kasus korupsi laptop Chromebook ini menjadi pengingat betapa rawannya proyek infrastruktur pendidikan dari praktik kolusi, di mana uang rakyat seharusnya jadi investasi masa depan generasi muda.




