JAKARTA – Perkembangan penyidikan kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo (23) mengungkap fakta baru yang semakin mengejutkan publik.
Prajurit TNI AD dari Batalyon Teritorial Pembangunan 834/Wakanga Mere, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur ini tewas pada Rabu (6/8/2025) diduga akibat penganiayaan yang dilakukan oleh sejumlah seniornya.
Kematian Prada Lucky menimbulkan gelombang reaksi, terutama setelah sang ayah, Serma Christian Namo—yang juga seorang prajurit TNI—meluapkan kemarahannya di media sosial.
Aksi tersebut viral dan memicu perhatian luas terhadap dugaan kekerasan di lingkungan militer.
Dalam perkembangan terbaru, penyidik militer menetapkan total 20 orang prajurit sebagai tersangka, jauh meningkat dari empat orang yang sebelumnya lebih dulu ditahan.
Penetapan ini diumumkan oleh Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, Senin (11/8/2025).
“Total sekarang ada 20 orang personel, prajurit, yang ditetapkan sebagai tersangka. Untuk yang empat orang ditetapkan sebagai tersangka awal, itu sudah dipindahkan penahanannya di Denpom Kupang,” jelas Brigjen Wahyu.
Empat tersangka awal, yakni Pratu AA, Pratu EDA, Pratu PNBS, dan Pratu ARR, kini ditahan di Subdenpom IX/1-1 Ende. Sementara 16 tersangka lain masih menunggu proses penahanan setelah rampung diperiksa.
Perwira TNI Turut Terlibat
Penyidikan juga mengungkap adanya seorang perwira TNI yang ikut ditetapkan sebagai tersangka.
Brigjen Wahyu menyebut, perwira tersebut diduga sengaja memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk melakukan kekerasan terhadap Prada Lucky.
“Jadi, ada Pasal 132. Itu artinya militer yang dengan sengaja mengizinkan seorang bawahan atau militer yang lainnya untuk melakukan tindak kekerasan,” tegas Wahyu.
Atas perbuatannya, perwira ini dijerat Pasal 132 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer yang mengatur larangan dan sanksi bagi anggota militer yang membiarkan atau memfasilitasi terjadinya kekerasan.
Motif ‘Pembinaan’ yang Berujung Maut
Motif di balik kekerasan ini, menurut Brigjen Wahyu, berawal dari kegiatan pembinaan prajurit.
Namun, metode yang digunakan justru berubah menjadi kekerasan fisik yang berujung fatal.
“Motif, saya sudah sampaikan semuanya atas dasar pembinaan. Jadi pada kesempatan ini saya menyampaikan bahwa kegiatan ini terjadi semuanya pada dasarnya pelaksanaan pembinaan kepada prajurit,” ungkapnya.
Wahyu menambahkan, pembinaan dilakukan terhadap beberapa prajurit, termasuk Prada Lucky, namun dalam waktu berbeda.
Ia menegaskan bahwa bentuk kekerasan tidak pernah menjadi bagian dari prosedur pembinaan resmi di TNI AD.
Pihaknya berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pembinaan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.***