JAKARTA – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengancam akan mengambil alih dana pemerintah daerah (pemda) sebesar Rp233,11 triliun yang mengendap di perbankan jika dana tersebut terbukti menganggur dan tidak dimanfaatkan secara optimal. Ancaman ini disampaikan langsung oleh Purbaya pada Kamis (25/9/2025) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, sebagai respons atas lambatnya realisasi belanja daerah yang baru mencapai 46,86% dari total pagu anggaran.
Rekor Tertinggi Dana Mengendap dalam Lima Tahun
Data Kementerian Keuangan menunjukkan dana pemda yang mengendap di perbankan hingga akhir Agustus 2025 mencapai Rp233,11 triliun, meningkat signifikan dari Rp192,57 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Angka ini merupakan rekor tertinggi selama lima tahun terakhir, bahkan lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar antara Rp178,95 triliun hingga Rp203,42 triliun.
“Kalau uangnya nganggur ya kita ambil. Tapi kalau memang betul-betul nganggur di sana, ya kita ambil alih, kita pindahin,” tegas Purbaya. Meskipun demikian, menteri yang baru menjabat ini menyatakan akan menghitung terlebih dahulu kebutuhan pemda untuk dana operasional di awal tahun 2026.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan fenomena paradoks ini terjadi meski penyaluran Transfer ke Daerah (TKD) justru mengalami peningkatan menjadi Rp571,5 triliun atau 62,1% dari pagu APBN. “Transfernya tetap tinggi, belanjanya agak lambat sehingga dana pemda di perbankan terjadi peningkatan,” ujar Suahasil.
Belanja Daerah Seret di Berbagai Sektor
Analisis lebih mendalam mengungkap perlambatan belanja daerah terjadi di hampir semua kategori. Belanja pegawai turun 1,5% dibandingkan tahun lalu, belanja barang dan jasa anjlok 10,6%, sementara belanja modal mengalami penurunan drastis hingga 32,6%. Kondisi ini dinilai dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah dan berpotensi memicu gejolak sosial.
Purbaya mengakui kebingungannya melihat dana jumbo mengendap sementara realisasi pemda masih minim. “Untuk saya agak ganjil juga. Ketika mereka punya Rp200 triliun lebih uang mereka mengendap di sana. Kenapa mereka enggak belanjain ya?” ungkap Purbaya.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai lambatnya penyerapan belanja daerah disebabkan masalah klasik mulai dari perencanaan kurang matang, proses pengadaan lamban, hingga keterbatasan kapasitas SDM birokrasi daerah. Sebagai solusi, pemerintah berencana mengimplementasikan sistem insentif dan disinsentif berbasis kinerja serta mempercepat proses pencairan dana di awal tahun tanpa persyaratan yang berbelit.