JAKARTA – Dalam sejarah panjang Republik Indonesia, sektor pertanian kini mencatatkan salah satu capaian terbesar dan paling membanggakan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, produksi padi nasional melonjak secara signifikan, memecahkan rekor sebagai yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.
Yang lebih menakjubkan, capaian ini bukan hasil kerja bertahun-tahun, melainkan diraih hanya dalam hitungan bulan – bahkan belum genap 100 hari – sejak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi berjalan.
Fenomena ini bukan sekadar angka statistik, tetapi sinyal kuat bahwa optimisme terhadap masa depan Indonesia kini menemukan fondasi yang kokoh, bahkan di tengah ketidakpastian global akibat perang tarif, krisis pangan, dan volatilitas geopolitik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi gabah kering giling (GKG) Indonesia periode Januari-April 2025 mencapai 24,22 juta ton, menghasilkan beras sebanyak 13,95 juta ton. Produksi ini meningkat sebesar 26,02% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya – lonjakan tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.
Bahkan pada bulan Januari 2025 saja, produksi padi mencapai 2,16 juta ton GKG, melesat 42,32% dibandingkan Januari 2024. Luas panen pun bertambah signifikan, mencapai 4,14 juta hektar atau naik 26,42% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ini adalah prestasi luar biasa yang membuktikan bahwa dengan kebijakan yang tepat, Indonesia mampu mempercepat swasembada pangan secara nyata.
Faktor-Faktor Kunci
Keberhasilan ini tidak terjadi secara kebetulan. Faktor-faktor kunci seperti dukungan kebijakan yang progresif, kondisi cuaca yang menguntungkan, strategi tanam berlapis, serta pengawasan ketat dari pusat berkontribusi besar.
Salah satu reformasi penting adalah penyederhanaan jalur distribusi pupuk, yang selama ini menjadi keluhan utama petani. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian berhasil memangkas birokrasi berbelit, kini hanya melibatkan tiga pihak: Kementerian, PIHC, dan petani.
Selain itu, penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah sebesar Rp6.500 per kilogram memberikan jaminan penghasilan yang lebih layak bagi petani, membebaskan mereka dari “kutukan” harga anjlok saat panen raya.
Jangan Terlena
Namun, di balik semua pencapaian ini, terdapat pula sejumlah tantangan strategis yang harus segera diantisipasi agar keberhasilan ini berkelanjutan dan tidak menjadi euforia sesaat.
Pertama, peningkatan produktivitas yang pesat harus diimbangi dengan pembangunan infrastruktur pasca-panen, seperti pengeringan, penggilingan, dan penyimpanan, untuk menjaga kualitas dan mencegah kerugian produksi.
Kedua, sektor riset dan inovasi pertanian perlu diperkuat dengan melibatkan perguruan tinggi, dunia usaha, dan lembaga litbang, agar Indonesia tidak hanya menjadi produsen primer tetapi juga inovator di sektor pangan global.
Ketiga, keberlanjutan produksi harus mempertimbangkan faktor lingkungan; ekspansi lahan pertanian harus diimbangi dengan praktik ramah lingkungan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Selain itu, sistem perlindungan harga dan stabilisasi pasar dalam jangka panjang harus diperkuat agar petani tidak kembali terjebak dalam siklus ketidakpastian harga global. Ketahanan pangan nasional juga harus diperluas ke komoditas strategis lainnya seperti jagung, kedelai, bawang, dan cabai, agar kemandirian pangan tidak hanya bergantung pada padi.
Meski masih terdapat kekurangan di sana-sini, arah yang telah ditempuh menunjukkan niat baik yang nyata. Seperti dikatakan Haris Rusly Moti, salah satu eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 UGM, capaian ini selaras dengan semangat “Swadesi” Gandhi dan “Trisakti” Bung Karno: berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Capaian pertanian ini adalah contoh konkret bagaimana kemandirian nasional dibangun dari kekuatan sendiri.
Pondasi Peradaban Agung
Dalam perspektif yang lebih luas, keberhasilan di bidang pangan sesungguhnya merupakan pondasi utama bagi ketahanan bangsa dan menjadi energi potensial untuk kebangkitan sebuah peradaban agung. Sejarah membuktikan, tak ada bangsa besar yang lahir dari ketergantungan pada pangan luar negeri.
Kekokohan Mesir Kuno dengan lumbung gandumnya, keemasan Dinasti Tang di Tiongkok dengan inovasi pertaniannya, hingga transformasi Amerika Serikat pasca-Revolusi Hijau, semuanya menunjukkan bahwa surplus pangan adalah syarat mutlak bagi stabilitas politik, kemajuan ekonomi, dan supremasi budaya.
Pangan yang berdaulat adalah jantung dari kedaulatan bangsa. Negara yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri memiliki landasan kuat untuk menentukan arah politik luar negerinya secara bebas, memperkuat industri domestiknya tanpa tekanan, dan membangun peradaban yang mandiri.
Ketahanan pangan bukan hanya mengamankan perut rakyat, melainkan juga memperkuat solidaritas sosial, memperbesar energi produktif nasional, serta menjadi tameng terhadap guncangan global, mulai dari perubahan iklim hingga krisis geopolitik.
Dalam konteks Indonesia, capaian ini harus dipahami sebagai lebih dari sekadar angka produksi; ia adalah manifestasi dari visi besar untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. Dengan pangan sebagai basis kekuatan, Indonesia memiliki peluang historis untuk menegaskan eksistensinya di panggung dunia: sebagai bangsa besar yang tidak hanya bertahan, tetapi memimpin.
Menjaga Optimisme
Melihat capaian luar biasa ini, tidak berlebihan jika kita menaruh keyakinan penuh bahwa masa depan Indonesia adalah masa depan yang hebat. Dengan kerja keras yang konsisten, inovasi yang berkelanjutan, dan visi kepemimpinan yang kokoh, Indonesia berada di jalur yang tepat untuk meneguhkan dirinya sebagai lumbung pangan dunia sekaligus kekuatan ekonomi baru yang disegani.
Produksi pangan yang melimpah bukan hanya menjawab kebutuhan domestik, tetapi juga membuka ruang bagi ekspansi diplomasi ekonomi, memperkuat posisi tawar Indonesia di percaturan global, dan membangun ekosistem industri berbasis pertanian yang berkelanjutan. Di tengah ketidakpastian dunia, Indonesia tampil menawarkan stabilitas, ketahanan, dan harapan.
Peningkatan produksi padi ini adalah bukti nyata bahwa bangsa ini mampu mengubah potensi menjadi prestasi, dari angan-angan menjadi kenyataan. Namun, pencapaian ini bukanlah garis akhir, melainkan fondasi awal untuk lompatan-lompatan berikutnya.
Kini saatnya kita menjaga momentum ini dengan semangat yang lebih besar, melipatgandakannya dengan kerja kolektif lintas sektor, dan memperkuatnya dengan inovasi di bidang teknologi, tata kelola pertanian, dan pemberdayaan petani.
Di tangan rakyat yang percaya diri dan pemimpin yang visioner, Indonesia akan mewujudkan cita-cita besar menuju Indonesia Emas 2045 – sebuah negeri yang bukan hanya berdiri tegak di antara bangsa-bangsa, tetapi juga menjadi mercusuar peradaban, yang memberi terang, keteladanan, dan harapan bagi dunia yang sedang mencari arah baru. Semoga..***
Penulis
Wim Tohari Daniealdi
Pengamat Kebijakan Publik
Dosen FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung




