JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia mengungkap fakta mencengangkan: dalam lima tahun terakhir, institusi kepolisian menjadi salah satu penyumbang terbesar aduan masyarakat dengan total 3.308 laporan terkait dugaan malaadministrasi dan buruknya pelayanan publik. Angka ini menempatkan Polri dalam 10 besar lembaga dengan pengaduan terbanyak yang masuk ke Ombudsman.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk “Reformasi Polri dan Pelayanan Publik Bagi Masyarakat” yang digelar di kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro menilai beban kerja berlebihan tanpa kontrol eksternal yang memadai menjadi penyebab utama menurunnya profesionalisme kepolisian.
“Seringkali beban-beban itu membuat mereka kemudian bekerjanya tidak profesional, karena selalu overload tanggung jawabnya dalam berbagai urusan di internal maupun eksternal,” kata Johanes.
Ia menegaskan bahwa polisi perlu difokuskan pada satu bidang profesi agar dapat mempertanggungjawabkan kinerja secara optimal dan mengubah persepsi publik yang selama ini menilai pelayanan Polri setengah hati.
“Bagaimana ada proses-proses untuk fokus supaya tidak membuat seolah-olah pelayanan masyarakat setengah hati, tidak sungguh-sungguh kemudian menjalankannya,” ujarnya.
Johanes juga mengkritik budaya birokrasi berjenjang di tubuh Polri yang menyebabkan proses pelaporan, penanganan pengaduan, hingga pemeriksaan menjadi berbelit dan kurang transparan.
“Kondisi ini menurunkan akuntabilitas yang pada akhirnya berdampak langsung pada menurunnya efektivitas dan legitimasi kinerja Polri,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menyoroti masih lemahnya pengawasan internal serta ketidakmerataan kualitas layanan dari tingkat pusat hingga daerah.
“Data laporan masyarakat yang diterima oleh Ombudsman dalam lima tahun terakhir bahwa Ombudsman menerima kurang lebih 3.308 laporan terkait dengan pelayanan Kepolisian,” kata Najih pada forum yang sama.
“Laporan-laporan terkait dengan dugaan malaadministrasi, lemahnya pengawasan hingga ketidakmerataan kualitas layanan dari pusat sampai ke level di daerah, dari ujung sampai ke puncak yaitu level Bhabinkamtibmas sampai Kapolri,” tambahnya.
Najih menekankan bahwa situasi ini menuntut reformasi mendasar yang tidak hanya bersifat kosmetik, melainkan penguatan tata kelola, peningkatan pelayanan publik, serta kemampuan Polri beradaptasi dengan tantangan kejahatan modern.
“Misalnya, kejahatan terorganisir, ancaman lintas negara, ancaman disintegrasi, dan dinamika sosial yang semakin kompleks,” tuturnya.
Ia berharap reformasi Polri tidak lagi berorientasi pada kebutuhan internal semata, tetapi benar-benar dirasakan masyarakat.
“Agar masyarakat benar-benar merasakan layanan Kepolisian yang benar-benar humanis, profesional, modern, dan akuntabel,” pungkas Najih.
Pernyataan Ombudsman ini kembali membuka diskusi mengenai urgensi reformasi total Polri yang selama ini kerap tertunda, di tengah meningkatnya tuntutan publik atas pelayanan kepolisian yang lebih bermartabat dan responsif.