JATIM – Peneliti dan aktivis dari Ecoton serta Kopipa memperingatkan bahaya pencemaran sungai di Indonesia yang dapat merusak ekosistem dan mengancam punahnya ikan-ikan lokal, yang menjadi bagian penting dari identitas ekologis suatu wilayah.
Perwakilan dari Kopipa, Jofan Ahmad menyoroti kondisi kritis Sungai Brantas yang menjadi salah satu sungai strategis di Jawa Timur.
Menurutnya, pencemaran sungai, mulai dari limbah industri hingga plastik, kini semakin mengancam keberadaan ikan-ikan lokal yang sangat penting bagi ekosistem sungai.
“Pemerintah setempat harus lebih ketat dalam mengawasi pencemaran yang berasal dari limbah industri dan plastik. Jika dibiarkan, kerusakan ini bisa berakibat fatal bagi keberlangsungan ikan-ikan di sungai ini,” tegas Jofan.
Sementara itu, Kurnia Rahmawati, peneliti ikan dan kebudayaan dari Ecoton, menambahkan bahwa sungai sejatinya mencerminkan identitas ekologi sebuah daerah melalui keberagaman ikan lokalnya. Namun, kondisi ini mulai terancam.
“Di Kediri, tepatnya di Kecamatan Papar, ikan papar atau belida hampir punah. Keberadaan ikan lokal ini sangat penting, karena hilangnya ikan tersebut berarti hilangnya sebagian identitas budaya lokal daerah tersebut,” jelas Kurnia.
Data yang dikumpulkan oleh Ecoton menunjukkan penurunan yang signifikan dalam jumlah jenis ikan lokal di Sungai Brantas. Pada 10 tahun lalu, ada sekitar 13 jenis ikan lokal di sungai ini, namun kini hanya tersisa 7 jenis ikan lokal. Penurunan ini menjadi tanda betapa seriusnya pencemaran yang terjadi.
Lebih memprihatinkan lagi, Indonesia, yang dikenal sebagai negara penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah China, juga berada di urutan kedua dunia untuk negara dengan tingkat kepunahan ikan air tawar yang paling tinggi, hanya kalah dari Filipina. Kondisi ini semakin mengancam keberlanjutan ekosistem perairan di Tanah Air.
Prigi Arisandi, peneliti ikan Sungai Brantas sekaligus pendiri Ecoton, mengungkapkan temuan mencengangkan lainnya terkait ketidakseimbangan rasio jenis kelamin ikan di Sungai Brantas. Dari pengamatan terbaru, terdeteksi bahwa hanya 32 persen ikan di sungai tersebut yang berjenis kelamin jantan, sementara 68 persen lainnya adalah ikan betina.
“Ketidakseimbangan ini mengindikasikan adanya gangguan hormon pada ikan, yang bisa disebabkan oleh paparan limbah industri dan domestik yang mengandung bahan kimia berbahaya, seperti EDC (Endocrine Disrupting Chemicals), yang memicu gangguan interseks pada ikan,” ungkap Prigi.
Prigi menambahkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, maka populasi ikan akan terganggu lebih parah, yang tentu saja akan berdampak buruk pada ekosistem sungai secara keseluruhan. Hal ini memicu kekhawatiran akan kehancuran ekosistem sungai yang tak hanya merugikan ikan, tetapi juga mempengaruhi kehidupan masyarakat yang bergantung pada keberadaan sungai tersebut.
Pencemaran sungai kini bukan hanya soal kerusakan alam, tetapi juga tentang hilangnya identitas budaya lokal dan ancaman terhadap sumber daya alam yang semakin langka. Sudah saatnya kita semua bergerak untuk menyelamatkan sungai-sungai kita dari ancaman yang bisa merusak keseimbangan ekosistem dan menggagalkan upaya pelestarian ikan-ikan lokal yang menjadi bagian dari warisan alam Indonesia.