JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto dinilai telah menyiapkan langkah strategis untuk menghadapi dampak perang dagang yang diluncurkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang turut mempengaruhi Indonesia melalui pemberlakuan tarif dagang baru.
Khairul Fahmi, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), mengungkapkan bahwa medan perang global saat ini telah berubah. Tidak hanya soal pembangunan atau pertumbuhan ekonomi, tetapi juga terkait dengan geopolitik yang semakin “brutal dan tanpa ampun.”
Menurut Fahmi, dalam konteks ini, ekonomi bukan lagi sekadar urusan angka dan pasar, melainkan bagian dari strategi pertahanan nasional. “Presiden Prabowo sudah berpikir jauh ke depan, menjadikan ekonomi sebagai fondasi pertahanan nirmiliter yang terintegrasi dalam sistem keamanan nasional,” ujar Fahmi kepada wartawan, Minggu (6/4/2024).
Dia mengungkapkan bahwa langkah-langkah ekonomi yang diambil oleh Prabowo, seperti hilirisasi industri strategis, pembangunan lumbung pangan, transisi energi, dan pemberian insentif bagi industri nasional, bukan hanya sekadar proyek sektoral. Namun, lebih dari itu, langkah-langkah tersebut merupakan dasar dari ketahanan nasional yang akan mempengaruhi masa depan Indonesia dalam beberapa dekade mendatang.
“Sejak awal, pemerintahan Prabowo tidak ingin membiarkan ekonomi Indonesia hanya menjadi penopang pertumbuhan global. Sektor-sektor strategis harus ditransformasi menjadi pilar ketahanan nasional, mulai dari industri pertahanan, pangan, energi, hingga teknologi. Kebijakan ekonomi harus dijalankan tidak hanya untuk mengejar angka, tetapi untuk membangun daya tahan dan daya saing,” jelasnya.
Fahmi menambahkan, tarif tinggi yang diberlakukan oleh AS menjadi pengingat bahwa dalam persaingan global, kekuatan ekonomi mencerminkan kekuatan suatu negara. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi Indonesia ke depan harus dirancang sebagai bagian dari strategi geopolitik: untuk bertumbuh, bertahan, dan memimpin.
Selain itu, diplomasi perdagangan Indonesia harus diperkuat, tidak hanya untuk membuka pasar, tetapi juga untuk menegosiasikan posisi Indonesia dalam rantai nilai global.
“Prabowo tidak berusaha membangun ekonomi yang sekadar kompetitif di pasar, melainkan ekonomi yang berdaulat secara strategis. Dari hilirisasi hingga digitalisasi, dari pertanian modern hingga penguatan industri pertahanan, semuanya adalah bagian dari sistem pertahanan nasional yang holistik. Visi ini membutuhkan konsistensi, ketegasan birokrasi, dan dukungan dari seluruh elemen bangsa,” tuturnya.
Fahmi menegaskan pentingnya sinergi antara kementerian ekonomi, pertahanan, luar negeri, dan BUMN. Sinergi ini harus dipercepat agar kebijakan tidak berjalan terpisah-pisah dan tidak terfragmentasi. Di tengah dunia yang semakin saling bergantung, ketergantungan yang tidak seimbang justru akan menjadi kerentanan baru bagi Indonesia.