PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO), sebagai perusahaan energi hijau global, terus mengambil peran penting dalam pengembangan energi panas bumi untuk mendukung transisi energi Indonesia dan mencapai agenda Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Dalam ajang Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 yang digelar pada Kamis (5/9), PGE mengusung paradigma baru yang menekankan pentingnya kolaborasi berbagai pemangku kepentingan guna mempercepat pengembangan panas bumi sebagai tulang punggung transisi energi nasional.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut B. Pandjaitan, dalam sesi pleno ISF 2024, menekankan bahwa percepatan transisi energi Indonesia membutuhkan upaya kolektif dari seluruh pihak—baik pemerintah, industri, maupun investor. “Masa depan transisi energi kita sangat bergantung pada komitmen bersama dari berbagai pemangku kepentingan,” ungkapnya.
Selaras dengan visi tersebut, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, menyatakan bahwa panas bumi merupakan solusi ideal bagi Indonesia dalam upaya menuju energi bersih. “Panas bumi sebagai sumber energi baseload harus dioptimalkan melalui kolaborasi yang kuat antar pemangku kepentingan,” kata Nicke.
Julfi Hadi, Direktur Utama PGE, menegaskan perlunya paradigma baru dalam pengembangan energi panas bumi. Menurutnya, diperlukan inovasi dalam pendekatan untuk meningkatkan daya tarik investasi di sektor energi terbarukan ini, terutama dalam hal tarif yang ada. “Selama ini, pendekatan pengembangan panas bumi tidak mengalami perubahan signifikan, padahal kita harus mempercepat pengembangan dalam 6-8 tahun ke depan guna mencapai target kapasitas nasional sebesar 7 GW pada 2033. Perlu terobosan untuk menurunkan biaya pengembangan dan mengubah model bisnis yang ada,” jelas Julfi.
PGE memperkenalkan tiga strategi utama dalam paradigma baru ini:
1. Pengembangan Bertahap dan Optimalisasi Biaya
PGE akan menerapkan model bisnis baru dengan pengembangan bertahap di wilayah kerja panas bumi (WKP) untuk meningkatkan peluang keberhasilan serta mengurangi risiko pembengkakan biaya yang sering terjadi dalam proyek berskala besar.
2. Teknologi Baru dan Konsolidasi Pasar
PGE akan menurunkan biaya pengembangan per unit (USD per MW) dengan memanfaatkan teknologi terbaru dan memperbesar skala operasi melalui kolaborasi antar-pengembang panas bumi, guna menciptakan pasar yang lebih besar dan konsolidasi permintaan.
3. Diversifikasi Bisnis
Pengembang panas bumi juga diharapkan untuk memperluas bisnis ke sektor non-kelistrikan, seperti hidrogen hijau dan amonia hijau, serta mempromosikan pengembangan teknologi dan manufaktur lokal untuk komponen pembangkit listrik panas bumi.
Selain itu, dukungan pemerintah dalam bentuk insentif, seperti akses ke pinjaman lunak (concessional loan) dan penjualan kredit karbon internasional, sangat diperlukan untuk mendorong keberhasilan strategi ini.
Komitmen PGE dalam Pengembangan Panas Bumi
Julfi Hadi menegaskan bahwa PGE telah memulai langkah nyata dalam mengimplementasikan paradigma baru ini. Saat ini, PGE mengelola 15 WKP dengan kapasitas terpasang sebesar 672 MW, dan berencana meningkatkan kapasitas tersebut menjadi 1 GW dalam 2-3 tahun mendatang. Dengan total potensi cadangan panas bumi sebesar 3 GW dari 10 WKP yang dikelola sendiri, PGE optimistis dapat menjadi penggerak utama percepatan pengembangan panas bumi di Indonesia.
“Kami telah melakukan berbagai kolaborasi dalam eksplorasi sumber daya, mendorong pengembangan teknologi baru, serta membangun manufaktur lokal. Salah satu inisiatif kami adalah proyek percontohan hidrogen hijau di Ulubelu,” tutup Julfi Hadi.
Pesan yang disampaikan PGE dalam ISF 2024 mempertegas peran penting panas bumi sebagai energi masa depan yang berkelanjutan dan katalis utama dalam perjalanan Indonesia menuju Net Zero Emission.