JAKARTA – Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil tidak berlaku surut. Artinya, para perwira Polri yang sudah telanjur menempati posisi di kementerian dan lembaga negara tetap dapat melanjutkan jabatannya tanpa diwajibkan mundur.
“Menurut pendapat saya terhadap putusan MK, bahwa putusan MK itu wajib kita jalankan, tetapi itu tidak berlaku surut. Artinya, bagi semua pejabat Polri yang sudah telanjur menjabat, tidak wajib untuk mengundurkan diri untuk saat ini,” tegas Supratman usai menghadiri rapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa 18 November 2025.
Meskipun putusan MK bersifat prospektif, Supratman membuka kemungkinan penarikan personel Polri dari jabatan sipil jika inisiatif datang dari institusi kepolisian itu sendiri. “Kecuali atas dasar kesadaran Polri untuk menarik anggotanya dari kementerian,” ujar politikus Partai Gerindra tersebut.
Langkah ini juga akan menjadi masukan penting bagi Komisi Reformasi Polri yang baru dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto. Komisi tersebut bertugas memetakan jabatan sipil yang fungsinya masih selaras dengan tugas pokok kepolisian, seperti di Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Hukum, hingga direktorat penegakan hukum di berbagai kementerian. Pemetaan ini diharapkan mencegah kontroversi serupa di masa depan melalui revisi Undang-Undang Kepolisian yang lebih ketat.
“Kalau seperti BNN, BNPT, Kementerian Hukum, atau semua direktorat di kementerian yang memiliki direktorat penegakan hukum. Nanti di Undang-Undang Kepolisian akan diatur secara limitatif di dalam batang tubuh undang-undang,” papar Supratman.
Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang dibacakan pada Kamis 14 November 2025 di ruang sidang pleno MK, secara tegas melarang anggota Polri aktif menjabat posisi sipil kecuali setelah mengundurkan diri atau pensiun. Putusan ini menegaskan bahwa penugasan semacam itu tidak boleh hanya mengandalkan izin Kapolri, melainkan harus melalui proses formal pengunduran diri.
Gugatan ini diajukan oleh Syamsul Jahidin terhadap Pasal 28 ayat (3) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Syamsul menyoroti praktik di mana banyak polisi aktif menduduki jabatan strategis di luar Polri tanpa prosedur pensiun, yang dinilainya merusak netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi, serta menghambat meritokrasi dan kesetaraan dalam pengisian jabatan publik.
Dalam permohonannya, Syamsul menyebutkan contoh kasus spesifik, termasuk:
- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
- Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
- Kepala BNN
- Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)
- Kepala BNPT
Fenomena ini, menurut pemohon, merugikan hak konstitusional warga negara dan profesional sipil untuk bersaing secara adil dalam birokrasi. Putusan MK ini diharapkan menjadi tonggak reformasi untuk memperkuat independensi institusi kepolisian sekaligus menjaga integritas pelayanan publik di Indonesia.