JAKARTA – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), atas usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto. Pengakuan ini menyoroti kontribusi monumental Soeharto dalam perjuangan kemerdekaan hingga era pembangunan nasional, di tengah dinamika penilaian sejarah yang sering kontroversial.
Langkah ini sejalan dengan pengajuan 40 tokoh nasional oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf, termasuk nama-nama ikonik seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Usulan ini bukan hanya simbolis, melainkan pengakuan atas peran historis Soeharto yang mencakup partisipasi aktif dalam Revolusi Kemerdekaan hingga keberhasilan program Repelita yang mengubah wajah ekonomi Indonesia.
Di era global saat ini, di mana refleksi sejarah semakin krusial, dukungan dari dua ormas ini menandai momen rekonsiliasi nasional atas warisan para pemimpin bangsa.
Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menegaskan bahwa gelar pahlawan bagi Soeharto adalah bentuk penghargaan yang pantas atas dedikasinya yang tak terbantahkan.
“Kami mendukung Bapak Soeharto sebagai pahlawan nasional karena beliau sangat berjasa kepada Republik Indonesia, sejak masa revolusi kemerdekaan hingga masa pembangunan,” ungkap Dadang dalam pernyataannya, Kamis (6/11/2025).
Dadang menyoroti peran krusial Soeharto dalam Perang Gerilya dan Serangan Umum 1 Maret 1949, momen penting yang memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional.
Selama dua dekade kepemimpinannya, Soeharto berhasil mewujudkan swasembada pangan terutama beras pada 1980-an melalui inisiatif Repelita, serta program Keluarga Berencana (KB) yang efektif menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk.
Stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan yang dicapai saat itu menjadi fondasi bagi kemajuan infrastruktur dan industrialisasi nasional.
“Ketika kita menghargai jasa kepahlawanan seseorang, jangan dilihat dari perbedaan politik atau kepentingan apapun, kecuali kepentingan bangsa dan negara, terlepas dari kekurangan dan kesalahan seseorang,” tambahnya. Pernyataan ini mencerminkan semangat Muhammadiyah dalam mempromosikan persatuan di atas perbedaan ideologi.
Sementara itu, PBNU juga tak kalah vokal. Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi—yang akrab disapa Gus Fahrur—tak hanya mendukung Soeharto, tetapi juga usulan gelar serupa untuk Gus Dur. Dukungan ini didasari pada pembelajaran dari sejarah sebagai alat membangun masa depan yang lebih inklusif.
“Dalam tradisi keilmuan Islam, ada kaidah penting Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah, menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik,” ujar Gus Fahrur dalam keterangannya.
Gus Fahrur memuji kontribusi Soeharto dalam menstabilkan bangsa pasca-kemerdekaan, yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu “macan ekonomi Asia” berkat perencanaan pembangunan matang dan pengamanan yang solid. “Pak Harto berjasa besar dalam stabilisasi nasional dan pembangunan ekonomi. Di masa beliau, Indonesia dikenal dunia sebagai salah satu macan ekonomi baru Asia, dengan program pembangunan yang terencana dan stabilitas ekonomi serta keamanan yang tinggi,” jelasnya.
Latar belakang usulan ini berawal dari inisiatif Mensos Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang menyerahkan daftar 40 calon pahlawan nasional ke Kementerian Sosial.
Selain Soeharto dan Gus Dur, nama-nama lain yang masuk termasuk aktivis buruh Marsinah dari Nganjuk, ulama Syaikhona Muhammad Kholil dari Bangkalan, KH Bisri Syansuri (mantan Rais Aam PBNU), KH Muhammad Yusuf Hasyim dari Tebuireng, serta tokoh militer seperti Jenderal TNI (Purn) M. Jusuf dan Ali Sadikin.
Penetapan pahlawan nasional oleh pemerintah melalui Kementerian Sosial biasanya melibatkan verifikasi mendalam atas kontribusi tokoh terhadap kemajuan bangsa.
Dukungan dari PP Muhammadiyah dan PBNU, yang mewakili jutaan umat Islam Indonesia, diharapkan mempercepat proses ini di tengah perdebatan publik soal warisan Orde Baru.




