Hongkong – Evergrande Group, raksasa properti asal China, telah diberi perintah untuk melakukan likuidasi asetnya oleh Pengadilan Hong Kong pada hari ini. Hakim Hong Kong, Linda Chan, mencatat bahwa Evergrande tidak mampu menyajikan rencana restrukturisasi yang konkret terhadap utangnya yang mencapai US$ 300 miliar atau setara dengan Rp 4.740 triliun (dengan kurs Rp 15.800).
“Dengan pernyataan ini, pengadilan menyatakan bahwa sudah saatnya bagi Evergrande untuk menghadapi kenyataan,” ujar Linda Chan seperti yang dilaporkan oleh Reuters pada Senin (29/1/2024).
Linda Chan dijadwalkan akan menjelaskan alasannya mengabulkan likuidasi pada pukul 14.30 waktu setempat, dengan diperkirakan bahwa pihak likuidator sementara akan ditunjuk untuk mengawasi Evergrande.
Proses likuidasi diperkirakan akan menjadi rumit, dengan potensi pertimbangan politik yang signifikan mengingat banyaknya pihak berkepentingan yang terlibat dalam Evergrande. Perusahaan properti ini, yang memiliki aset senilai US$ 240 miliar, mengalami krisis ketika gagal membayar utangnya pada tahun 2021.
Meskipun Evergrande telah mengajukan penundaan pembayaran utang pada hari Senin, pengacara perusahaan dalam persidangan menyatakan bahwa mereka telah membuat beberapa kemajuan dalam proposal restrukturisasi. Dalam penawaran terbaru, pengembang tersebut mengusulkan agar kreditur menukar utang mereka dengan saham yang dimiliki perusahaan di dua unitnya di Hong Kong.
Evergrande sebelumnya telah berupaya melakukan restrukturisasi utang sebesar US$ 23 miliar dengan kelompok kreditur yang dikenal sebagai kelompok pemegang obligasi ad hoc selama hampir dua tahun. Namun, rencana awal ini dibatalkan pada akhir September ketika Evergrande mengumumkan bahwa pendirinya, Hui Ka Yan, sedang diselidiki atas dugaan kejahatan.
Keputusan likuidasi ini bermula dari petisi yang diajukan pertama kali pada Juni 2022 oleh Top Shine, seorang investor di unit Evergrande Fangchebao. Petisi tersebut menyatakan bahwa Evergrande tidak memenuhi perjanjian pembelian kembali saham yang telah dibeli di anak perusahaannya. Dengan keputusan likuidasi ini, pasar modal dan properti China yang sudah rapuh kemungkinan akan semakin terguncang.
China saat ini tengah menghadapi tantangan ekonomi, mulai dari pasar properti yang mengalami penurunan terburuk dalam sembilan tahun terakhir hingga pasar saham yang berada di posisi terendah dalam lima tahun terakhir.