JAKARTA — Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri menyoroti kasus kekerasan di SMAN 72 sebagai bukti nyata keterlambatan sistemik dalam menangani perundungan di lingkungan pendidikan. Menurutnya, kegagalan dalam merespons sejak awal membuat korban bullying terpaksa bertarung sendirian hingga akhirnya berubah status menjadi pelaku kekerasan.
“Peristiwa ini menambah daftar panjang keterlambatan kita dalam menangani bullying. Korban yang menderita sekian lama akhirnya berubah menjadi pelaku brutalitas, dan langsung diberi label pelaku kekerasan,” ujar Reza, Sabtu (8/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa korban perundungan kerap mengalami viktimisasi berulang. Pertama, saat dirundung oleh teman-temannya. Kedua, ketika mencari pertolongan namun justru diabaikan oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi. Ketiga, saat sistem hukum memaksa korban untuk memaafkan pelaku atas nama restorative justice yang disederhanakan.
“Puncak kesengsaraan korban adalah ketika ia melakukan kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain. Ironisnya, sebelum sempat kita bantu sebagai korban, ia sudah lebih dulu dihukum sebagai pelaku,” tegas Reza.
Data yang ia kutip menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen anak yang menjadi pelaku bullying ternyata juga pernah menjadi korban. Hal ini, menurutnya, menegaskan bahwa persoalan bullying tidak bisa dilihat secara hitam putih.
“Bullying bukan sekadar dinamika perkembangan anak. Ini adalah bentuk agresi berkepanjangan yang harus dicegah secara serius dan cepat,” katanya.
Reza juga mendukung pendekatan hukum terhadap kasus perundungan, namun mengingatkan bahwa karena pelaku masih berusia anak-anak, maka pendekatan harus merujuk pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU ini menekankan bahwa anak tetap harus dipandang sebagai individu yang memiliki masa depan.
“Proses hukum terhadap anak harus multidimensi dan mempertimbangkan banyak faktor. Saya selalu mendorong hakim untuk menerapkan Bioecological Model dan Interactive Model dalam persidangan,” jelasnya.
Namun, Reza mengakui bahwa penerapan model tersebut membutuhkan kerja lintas sektor yang kompleks dan bertentangan dengan prinsip persidangan yang cepat dan sederhana. Akibatnya, banyak hakim tetap menggunakan pendekatan yang sama seperti terhadap pelaku dewasa.
“Sulit bagi korban bullying yang menjadi pelaku untuk mendapatkan peringanan sanksi. Ia tetap sendirian menjalani konsekuensi hukum atas ‘aksi kejahatannya’,” pungkas Reza.




