PARIS, PRANCIS – Ribuan demonstran membanjiri jalanan Paris akhir pekan ini, menuntut pengunduran diri Presiden Emmanuel Macron dan mendorong Prancis keluar dari Uni Eropa (Frexit), mencerminkan krisis politik yang kian memanas akibat kekecewaan publik terhadap kepemimpinannya.
Demonstrasi yang berlangsung pada Sabtu (6/9) di ibu kota Prancis itu dipicu oleh meningkatnya defisit anggaran dan kebijakan keuangan pemerintah yang dianggap gagal oleh banyak warga.
Massa membawa spanduk bertuliskan “Mari kita hentikan Macron, mari kita hentikan perang” dan “Frexit”, mengacu pada istilah yang terinspirasi dari Brexit, gerakan Inggris keluar dari Uni Eropa. Seruan “Blokir semuanya” juga menggema, diiringi rencana mogok kerja yang akan mengganggu operasional bandara-bandara di seluruh negeri.
Krisis kepercayaan terhadap Macron semakin nyata. Menurut jajak pendapat yang dilakukan untuk Le Figaro dan dipublikasikan pada Rabu lalu, sekitar 80% warga Prancis menyatakan tidak mempercayai kepemimpinan Macron.
Angka ini menunjukkan penurunan drastis kepercayaan publik terhadap presiden yang pernah dielu-elukan sebagai pemimpin muda visioner. Selain itu, Perdana Menteri Francois Bayrou, yang merupakan perdana menteri kelima dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, juga menghadapi tekanan serupa, dengan tingkat kepercayaan publik yang merosot ke rekor terendah.
Oposisi Menggoyang Pemerintahan
Situasi politik semakin rumit dengan langkah oposisi yang mengajukan mosi pemakzulan terhadap Macron. Pemimpin partai kiri jauh France Unbowed (LFI), Jean-Luc Melenchon, secara terbuka menyatakan, “Dia harus mundur,” dalam konferensi pers di Kota Lille, Prancis utara, pada Sabtu (6/9). Melenchon juga memprediksi bahwa pemerintahan Bayrou kemungkinan akan jatuh dalam pemungutan suara mosi percaya pada Senin mendatang, yang ia sebut sebagai “kemenangan rakyat.”
Pemerintahan Prancis saat ini berada di ujung tanduk setelah parlemen menggulingkan Perdana Menteri Michel Barnier melalui mosi tidak percaya pada Desember 2024. Kini, Bayrou berupaya menyelamatkan pemerintahannya dengan mengusulkan penghematan anggaran sebesar 44 miliar euro untuk menekan utang publik yang telah mencapai 113% dari PDB. Namun, rencana ini justru memicu kemarahan lebih lanjut di kalangan warga dan memperkuat seruan untuk perubahan radikal.
Frexit: Bayang-bayang Brexit di Prancis
Selain menuntut pengunduran diri Macron, banyak demonstran juga menyuarakan keinginan untuk meninggalkan Uni Eropa, sebuah ide yang dikenal sebagai “Frexit”. Gerakan ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi dan politik Uni Eropa yang dianggap tidak lagi menguntungkan Prancis. Para pengunjuk rasa menilai bahwa keanggotaan di Uni Eropa telah membatasi kedaulatan nasional dan memperburuk kondisi ekonomi domestik.
Krisis politik ini menempatkan Prancis pada persimpangan kritis. Dengan meningkatnya ketidakpuasan publik, tekanan terhadap Macron untuk mundur semakin kuat, sementara Bayrou berjuang mempertahankan legitimasi pemerintahannya. Demonstrasi besar-besaran dan ancaman mogok kerja menunjukkan bahwa ketegangan ini belum akan mereda dalam waktu dekat.
Analis politik memperingatkan bahwa kegagalan pemerintah untuk menangani krisis kepercayaan ini dapat memicu instabilitas lebih lanjut, baik di dalam negeri maupun di panggung internasional.
Sementara itu, dunia menyaksikan dengan cermat bagaimana Prancis, salah satu kekuatan utama Eropa, akan menavigasi badai politik yang terus mengguncang fondasi kepemimpinannya.




