PAPUA – Salju abadi di Puncak Jayawijaya, Papua, yang menjadi kebanggaan Indonesia, diprediksi akan menghilang pada 2026. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan fenomena ini dipicu oleh perubahan iklim global yang kian mengkhawatirkan.
Kehilangan lapisan es ini tak hanya mengubah lanskap alam, tetapi juga mengancam ekosistem unik di wilayah tersebut.
Berdasarkan laporan BMKG, lapisan salju di Puncak Jayawijaya, yang dikenal sebagai gletser terakhir di wilayah tropis Pasifik Barat, terus menyusut drastis. Penelitian terkini menunjukkan bahwa volume es telah berkurang signifikan akibat peningkatan suhu global.
“Dari pemantauan kami, salju di Puncak Jayawijaya terus mencair dengan cepat. Jika tren ini berlanjut, diprediksi salju akan hilang total pada 2026,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.
Dampak Perubahan Iklim yang Nyata
Fenomena mencairnya salju di Puncak Jayawijaya menjadi bukti nyata dampak perubahan iklim. Kenaikan suhu global, yang dipicu oleh emisi gas rumah kaca, mempercepat pelelehan es di pegunungan Cartenz. Data satelit BMKG mencatat, luas salju yang tersisa kini hanya sekitar 1 kilometer persegi, jauh menurun dibandingkan dekade sebelumnya.
“Puncak Jayawijaya adalah barometer perubahan iklim di Indonesia. Hilangnya salju ini menjadi peringatan bagi kita semua untuk segera bertindak mengurangi emisi karbon,” kata Dwikorita. Ia menegaskan pentingnya langkah mitigasi global, seperti pengurangan deforestasi dan penggunaan energi terbarukan, untuk memperlambat laju pemanasan global.
Ancaman bagi Ekosistem dan Warisan Budaya
Hilangnya salju di Puncak Jayawijaya tak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada masyarakat adat di sekitar pegunungan. Suku-suku seperti Amungme dan Nduga menganggap puncak ini sebagai situs suci yang memiliki nilai spiritual tinggi. Kehilangan salju dapat mengganggu tradisi budaya dan ekosistem lokal yang bergantung pada siklus air dari gletser tersebut.
Peneliti lingkungan dari Universitas Cenderawasih, Dr. Yohanes Rumbiak, menyoroti urgensi pelestarian.
“Kita tidak hanya kehilangan salju, tetapi juga keanekaragaman hayati yang bergantung pada ekosistem pegunungan ini. Ini adalah panggilan untuk bertindak,” ujarnya.
BMKG mengimbau pemerintah dan masyarakat global untuk segera mengambil langkah nyata. Program reboisasi, pengelolaan limbah, dan edukasi lingkungan menjadi kunci untuk memperlambat dampak perubahan iklim. Sementara itu, wisatawan yang ingin menyaksikan keindahan salju Jayawijaya disarankan untuk segera berkunjung sebelum fenomena ini lenyap selamanya.
Hilangnya salju di Puncak Jayawijaya menjadi pengingat bahwa perubahan iklim adalah ancaman nyata yang membutuhkan aksi kolektif. Sebelum keajaiban alam ini benar-benar hilang, masih ada waktu untuk bertindak.