JAKARTA – Kebijakan penghapusan rujukan berjenjang BPJS Kesehatan kembali menjadi sorotan setelah pemangku kebijakan memulai tahap pemetaan kompetensi layanan kesehatan secara nasional.
Langkah reformasi rujukan BPJS ini menjadi kata kunci penting dalam pembahasan pelayanan kesehatan karena pemerintah menyesuaikan aturan baru terkait klasifikasi rumah sakit di seluruh Indonesia.
Transformasi alur rujukan BPJS juga menjadi perhatian utama publik karena perubahan regulasi kesehatan nasional menuntut kesiapan fasilitas, kompetensi, dan infrastruktur digital di berbagai daerah.
Kompartemen Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan PERSI, Daniel Budi Wibowo, menjelaskan bahwa rencana perubahan sistem rujukan nasional merupakan implikasi langsung dari regulasi kesehatan terbaru yang menghapus jenjang rumah sakit berbasis kelas.
“Karena ini sudah ada di dalam Undang-Undang tentang kesehatan nomor 17 tahun 2023, Perpres 28 tahun 2024 dan Permenkes 11 tahun 2025 yang mengatakan bahwa rumah sakit itu tidak ada lagi rumah sakit kelas A, kelas B, kelas C, atau kelas D.”
“Jadi namanya semua adalah rumah sakit, tetapi rumah sakit akan berbasis kompetensi,” ucapnya dikutip dari RRI, Minggu (16/11/2025).
Ia menegaskan bahwa pemetaan kompetensi layanan harus tuntas sebelum sistem rujukan baru diterapkan secara nasional agar alurnya berjalan efektif dan tidak membingungkan peserta BPJS.
Daniel menilai penguatan sistem digital rujukan menjadi kunci karena platform tersebut akan menentukan arah keputusan klinis dan pergerakan pasien di lapangan.
Ia menambahkan bahwa kesiapan peralatan medis dan sumber daya manusia di setiap daerah wajib dijamin agar proses rujukan tidak terhambat dan pasien tetap memperoleh layanan yang efisien.
“Persoalannya adalah, kalau di dalam satu daerah tidak ada rumah sakit yang paripurna atau utama di dalam satu bidang kompetensi, ini akan menyulitkan dalam pemberian rujukan.”
“Karena jelas-jelas di dalam mapping dia tidak bisa dirujuk di dalam provinsi atau di dalam kabupaten kota karena memang tidak ada fasilitasnya,” katanya.
Daniel menilai minimnya fasilitas kompeten di daerah tertentu berpotensi memicu rujukan jarak jauh yang otomatis menambah beban biaya bagi pasien dan keluarga.
Ia mengingatkan bahwa kesenjangan kompetensi antarwilayah harus segera dibenahi agar akses layanan kesehatan tetap adil bagi masyarakat di kawasan terpencil maupun perkotaan.
Daniel juga melihat perlunya penyesuaian tarif layanan kesehatan untuk menjaga stabilitas pembiayaan program dan mencegah risiko defisit berulang dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional.
Ia menekankan bahwa penyempurnaan regulasi harus dilakukan secara komprehensif agar sistem rujukan kompetensi dapat berjalan merata, efektif, dan berkelanjutan di seluruh Indonesia.***




