JAKARTA – Di tengah serangkaian pidato diplomatik, pertemuan Dewan Keamanan, acara santai, dan jumpa pers, berbagai negara dari berbagai belahan dunia menyerukan berakhirnya kekerasan di Gaza serta mendesak pembentukan negara Palestina yang merdeka. Namun, diplomat, analis, dan aktivis mengingatkan bahwa meski dukungan diplomatik terus mengalir, itu tidak serta merta akan mengubah kondisi di lapangan.
Seperti dilaporkan Al-Jazeera pada Senin (29/9/2025), meski solidaritas internasional terus berkembang, serangan Israel ke Gaza tak kunjung reda. Dalam pekan yang sama, laporan menyebutkan sedikitnya 661 warga Palestina tewas akibat serangan, sementara militer Israel terus meningkatkan intensitas serangan darat ke Kota Gaza.
Menurut para pengamat, pengakuan diplomatik terhadap Palestina memang penting secara simbolis, namun tanpa tindakan nyata, seperti menahan aliran senjata militer atau menghukum pelanggaran, pengakuan tersebut bisa berisiko hanya menjadi formalitas belaka.
“Situasi terus memburuk karena Israel terus memiliki akses ke senjata dan sumber daya,” kata Varsha Gandikota-Nellutla, sekretaris eksekutif Grup Den Haag, sebuah koalisi negara yang mendorong sanksi dan embargo terhadap Israel. “Kekuatan ekonomi mesin genosida masih belum melemah,” tegasnya.
Seruan untuk mengenakan sanksi dan embargo muncul di tengah kampanye aktivis hak asasi manusia yang mengadvokasi pemblokiran pasokan senjata ke Israel sebagai cara untuk menekan kampanye militer yang dianggap melanggar hukum humaniter internasional. Beberapa negara dari empat benua — termasuk Brasil, Kolombia, Malaysia, Meksiko, Namibia, Spanyol, dan Qatar — turut membahas isu ini dalam pertemuan internasional. Embargo energi dan pelarangan pengiriman senjata menjadi opsi yang semakin dipertimbangkan dalam kebijakan kolektif.
Demonstrasi Mendukung Palestina: “Tindakan Nyata Harus Mengikuti Pengakuan”
Di luar Sidang Umum PBB, protes besar-besaran juga bergema, dengan demonstran mengecam bencana kemanusiaan di Gaza. Beberapa di antaranya memukul panci untuk menyoroti krisis kelaparan yang melanda wilayah tersebut.
Maamoun Hussein, seorang pengunjuk rasa, menyambut baik pengakuan negara Palestina tetapi menekankan bahwa langkah simbolis ini harus diikuti dengan tindakan nyata untuk menuntut pertanggungjawaban dari Israel. “Negara-negara ini memiliki kekuatan untuk melakukan embargo senjata. Mereka punya kekuatan untuk menekan Israel,” ujarnya.
Philippe Lazzarini, Kepala UNRWA, memperingatkan bahwa krisis di Gaza telah mencapai titik kritis, dengan nyawa warga Palestina “direndahkan” karena tidak adanya konsekuensi nyata bagi Israel atas tindakannya. Sejak Oktober 2023, sekitar 20.000 anak Palestina telah menjadi korban serangan Israel. Menteri Luar Negeri Belgia, Maxime Prevot, juga menegaskan bahwa penderitaan ini bukan akibat ketidakberdayaan, melainkan akibat pilihan politik dan ketidakaktifan komunitas internasional.
Tekanan Diplomatik dan Boikot terhadap Israel
Dalam pertemuan Dewan Keamanan, Menteri Luar Negeri Aljazair, Ahmed Attaf, menekankan pentingnya kontrol internasional terhadap Israel. “Stabilitas global bergantung pada lahirnya negara Palestina berdasarkan perbatasan sebelum 1967,” katanya. Sementara itu, lebih dari 50 delegasi negara memilih meninggalkan aula Sidang Umum PBB saat Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, naik podium.
Di dekat lokasi Sidang Umum PBB, perwakilan dari 34 negara yang tergabung dalam Grup Den Haag menggelar pertemuan untuk membahas langkah konkret dalam menghentikan kekejaman di Gaza. Kebijakan yang dibahas antara lain adalah embargo energi terhadap Israel serta langkah untuk memblokir pengiriman senjata ke Israel melalui pelabuhan internasional.
Varsha Gandikota-Nellutla, Ketua Grup Den Haag, menegaskan bahwa kerja sama lintas negara adalah kunci untuk menghentikan impunitas Israel. “Kami ingin berkembang dari satu negara ke negara lain, hingga seluruh dunia ikut serta, hingga setiap rantai pasokan yang membawa senjata pemusnah massal ke Israel menjadi tidak dapat diakses oleh Netanyahu dan pemerintahannya,” ujar Gandikota-Nellutla kepada Al Jazeera.




