JAKARTA – Olahraga lari jarak jauh seperti maraton dan ultramaraton kerap dikaitkan dengan gaya hidup sehat dan ketahanan fisik. Namun, temuan klinis onkolog dr. Timothy Cannon menunjukkan pola yang berbeda, khususnya terkait kasus kanker usus besar.
Cannon menyoroti sejumlah pasien kanker usus besar yang justru aktif berlari jarak jauh. “Pasien-pasien ini bukan orang yang kurang bergerak. Dua di antaranya rutin mengikuti ultramaraton 100 mil, dan satu lainnya menyelesaikan 13 half marathon dalam satu tahun,” ujarnya, dikutip dari Best Life.
Fokus Penelitian
Cannon bersama timnya meneliti 100 pelari berusia 35–50 tahun yang rutin mengikuti lomba jarak jauh. Peserta dipilih karena telah menyelesaikan minimal dua ultramaraton (≥50 km) atau lima maraton resmi (42,2 km), tanpa riwayat kanker usus besar maupun faktor risiko lain.
Hasil Kolonoskopi
Pemeriksaan kolonoskopi menunjukkan angka polip yang relatif tinggi:
- 39% peserta memiliki setidaknya satu polip di usus besar.
- 15% di antaranya tergolong adenoma tingkat lanjut (prakanker).
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan prevalensi adenoma tingkat lanjut pada populasi umum usia akhir 40-an di AS, yang hanya sekitar 4,5–6%.
Mekanisme Biologis
Cannon menduga berkurangnya aliran darah ke usus saat lari jarak jauh menjadi faktor penting. “Selama lari sejauh 80 kilometer atau lebih, tubuh mengalihkan sebagian besar aliran darah dari saluran cerna ke otot-otot kaki. Kondisi ini dapat berlangsung enam hingga tujuh jam atau lebih, berpotensi menyebabkan iskemia dan kerusakan sel,” jelasnya.
Selain itu, keterlambatan diagnosis juga berperan. Gejala seperti diare atau buang air besar berdarah sering dianggap normal oleh pelari jarak jauh (runner’s trots), sehingga tanda awal kanker bisa terlewat.
Jadi, Cannon menegaskan temuannya tidak berarti maraton atau ultramaraton harus dihindari. Penelitian ini justru menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap gejala pencernaan dan perlunya riset lanjutan untuk memahami dampak olahraga ketahanan ekstrem terhadap kesehatan usus.