JAKARTA – Dwayne “The Rock” Johnson, yang dikenal sebagai raja film aksi dan waralaba keluarga, menghadapi pukulan telak di box office dengan debut film terbarunya, The Smashing Machine. Drama olahraga berating R ini hanya meraup $6 juta pada akhir pekan pembukaan, menandai start terburuk dalam karier bintang papan atas ini. Bagi A24, rumah produksi indie di balik film ini, kegagalan ini seperti tamparan keras: mereka menggelontorkan $50 juta untuk produksi, belum lagi biaya pemasaran, dan kini terancam merugi puluhan juta dolar.
The Smashing Machine menampilkan Johnson dalam peran yang tak biasa: sebagai Mark Kerr, mantan pegulat dan juara UFC yang berjuang melawan kecanduan zat demi comeback kariernya. Berbeda dari karakter penuh aksi seperti Luke Hobbs (Fast and Furious) atau Maui (Moana), peran ini menuntut sisi emosional yang lebih dalam dari Johnson. Meski mendapat sambutan hangat di Festival Film Venesia—termasuk tepuk tangan 15 menit dan penghargaan sutradara terbaik untuk Benny Safdie—film ini gagal memikat penonton di bioskop.
Mengapa film ini tak mampu “menghancurkan” box office? Pertama, kebingungan identitas penonton menjadi faktor utama. A24 memasarkan film ini sebagai drama arthouse dengan ambisi Oscar, tetapi penonton yang datang sebagian besar adalah pria muda berusia 18-36 tahun—demografi khas film aksi Johnson. Mereka tampaknya kecewa dengan kurangnya aksi, yang terlihat dari nilai “B-” pada jajak pendapat CinemaScore. Hanya 8% penonton berusia di atas 55 tahun, segmen penting untuk film arthouse, menunjukkan ketidakcocokan antara pemasaran dan audiens.
Biaya produksi $50 juta juga menjadi beban berat. Dengan keharusan meraup lebih dari $100 juta untuk balik modal, film ini menghadapi tantangan besar, terutama karena drama olahraga seperti ini kurang diminati di pasar internasional. “Gulat Amerika adalah fenomena lokal,” ujar David A. Gross, konsultan film dari FranchiseRe, dilansir dari Variety, Selasa (7/10/2025). “Ini membatasi daya tariknya di luar negeri.”
Selain itu, buruknya promosi dari mulut ke mulut memperparah situasi. Awalnya diproyeksikan meraup $17 juta, angka itu terus turun hingga $6 juta pada hari Minggu, bahkan mungkin hanya $5,5 juta setelah perhitungan final. “Penonton mulai menurun begitu mereka menonton dan membicarakan film ini,” ungkap seorang analis.
Faktor lain adalah kurangnya urgensi budaya. Tidak seperti fenomena “Barbenheimer” atau film seperti Sinners dan Weapons yang menjadi perbincangan, The Smashing Machine gagal menciptakan momen “harus ditonton sekarang”. Persaingan dengan The Official Release Party of a Showgirl milik Taylor Swift, yang meraup $33 juta, memang mengambil beberapa layar premium, tetapi analis seperti Shawn Robbins dari Fandango menegaskan bahwa ini bukan penyebab utama kegagalan film Johnson.
Dengan proyeksi pendapatan domestik hanya $15 juta hingga akhir penayangan, The Smashing Machine menjadi pelajaran mahal bagi A24 dan Johnson. Apakah kegagalan ini akan memengaruhi peluang penghargaan film ini masih belum jelas, tetapi satu hal pasti: bahkan The Rock pun bisa tersandung di atas ring box office.




