JAKARTA – Tim Penasihat Hukum Hasto Kristiyanto menyayangkan ketidakhadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang perdana praperadilan pada Selasa, 21 Januari 2025. Meskipun permohonan praperadilan diajukan 11 hari sebelumnya dan KPK telah menyatakan kesiapan mereka, absennya pihak KPK justru bertentangan dengan komitmen yang telah disampaikan.
Menurut tim hukum Hasto, sikap KPK yang tidak hadir ini menunjukkan ketidaksiapan lembaga tersebut dalam menghadapi proses hukum yang seharusnya berjalan cepat. Praperadilan merupakan mekanisme hukum yang dirancang untuk melindungi hak-hak individu yang merasa dirugikan oleh tindakan penegak hukum, sehingga prosesnya seharusnya tidak diperlambat atau diulur-ulur.
“Proses praperadilan ini seharusnya menjadi cepat, sesuai dengan prinsip fast trial, karena tujuannya untuk memastikan hak-hak pihak yang dirugikan terlindungi. Kami sangat menyayangkan sikap KPK yang mengulur waktu,” ungkap salah satu anggota tim hukum Hasto.
Meskipun demikian, pihak tim hukum menyatakan tetap menghormati kelembagaan KPK dan berharap agar pada sidang berikutnya, KPK tidak mangkir lagi. Mereka ingin agar sejumlah pelanggaran dan dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penetapan Hasto sebagai tersangka dapat diuji secara hukum.
Praperadilan Hasto Jadi Sorotan Hukum Demokrasi
Tim hukum Hasto Kristiyanto menekankan bahwa praperadilan yang tengah berlangsung tidak hanya penting untuk kasus kliennya, tetapi juga sebagai bagian dari sejarah perjuangan hukum dalam mempertahankan demokrasi. Mereka berencana mengungkap sejumlah dugaan cacat prosedural dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan tersebut.
Sejumlah kejanggalan terkait waktu, prosedur, dan substansi dalam penetapan Hasto sebagai tersangka ditemukan oleh tim hukum. Beberapa isu, seperti perbuatan sewenang-wenang KPK dalam penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), akan diuji dalam praperadilan ini.
Salah satu kejanggalan yang disoroti adalah penerbitan Sprindik dan SPDP tertanggal 23 Desember 2024. Menurut tim hukum, kedua dokumen tersebut menjadi dasar dilakukannya sejumlah upaya paksa, termasuk penggeledahan dan penyitaan, yang dinilai cacat hukum dan sewenang-wenang.
“Kami juga terkejut mendengar dari Mas Hasto bahwa dalam pemeriksaan minggu lalu, beliau diperlihatkan Sprindik yang ditandatangani oleh pimpinan KPK. Padahal, berdasarkan UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, pimpinan KPK sudah tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik atau penuntut umum,” jelas tim hukum.
Menurut mereka, hal ini semakin memperkuat dugaan adanya masalah prosedural dalam penetapan tersangka Hasto, karena pimpinan KPK, yang tidak lagi memiliki kewenangan penyidikan, seharusnya tidak dapat memerintahkan dilakukannya penyidikan.
Diduga ada Penyalahgunaan Wewenang
Selain itu, tim hukum juga menilai telah terjadi penyalahgunaan wewenang dalam proses ini. Pelimpahan wewenang penyidikan oleh pihak yang tidak berwenang, dalam hal ini pimpinan KPK, dinilai melanggar aturan yang berlaku. Proses penyidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum ini menjadi salah satu poin penting yang akan diuji dalam sidang praperadilan yang akan datang.
“Ini jelas merupakan penyalahgunaan wewenang yang harus diuji dalam praperadilan. Kami berharap melalui proses ini, dugaan cacat prosedural dan penyalahgunaan wewenang dapat terungkap secara transparan,” tutupnya