JAKARTA – Amerika Serikat dikabarkan tengah menyiapkan kebijakan bea masuk tambahan sebesar 10 persen terhadap negara-negara yang tergabung dalam kelompok BRICS.
Langkah ini dinilai sebagai respons strategis terhadap penguatan kerja sama ekonomi dan politik di antara anggota BRICS, termasuk Indonesia. Wacana ini mencuat saat pertemuan tingkat tinggi para pemimpin BRICS berlangsung di Rio de Janeiro, Brasil.
Negara-negara anggota BRICS yang kini berjumlah 11 — yakni Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Indonesia, dan Iran — sedang menggagas pendekatan baru untuk mendorong perdagangan global yang lebih inklusif.
Dalam deklarasi bersama yang dirilis tuan rumah Brasil, tersirat kritik terhadap praktik-praktik proteksionisme lama, seperti kebijakan tarif tinggi era Presiden Donald Trump, yang dinilai bertentangan dengan semangat perdagangan bebas dan multilateral.
Penegasan BRICS dalam KTT ini secara tidak langsung menjadi sinyal kuat terhadap dominasi ekonomi global Barat.
Kelompok ini menyoroti kekhawatiran terhadap makin maraknya hambatan perdagangan baik dalam bentuk tarif maupun kebijakan non-tarif.
Proteksi berkedok kebijakan lingkungan disebut-sebut bisa mengganggu kestabilan pasar global serta memperbesar risiko ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dunia.
Kehadiran 11 pemimpin BRICS di Rio de Janeiro bukan sekadar simbol solidaritas, tetapi menandai konsolidasi pengaruh yang semakin nyata di tingkat global.
Dalam situasi geopolitik yang kian kompleks, wacana tambahan tarif dari Amerika Serikat terhadap negara pendukung BRICS dinilai sebagai upaya untuk menekan gerakan multipolar yang mulai menggeser dominasi ekonomi tunggal.
Pernyataan bersama yang dirilis Brasil, meskipun tidak menyebut nama langsung, secara halus menyentil pendekatan dagang sepihak yang diterapkan oleh negara-negara maju.
“Kami menyuarakan keprihatinan serius terhadap hambatan tarif dan nontarif unilateral yang mendistorsi perdagangan dan tidak konsisten dengan aturan World Trade Organization,” demikian isi kutipan dari pernyataan tersebut.
Kebijakan bea masuk dan proteksionisme ini, jika benar diterapkan AS, dikhawatirkan akan memicu tensi perdagangan baru.
Indonesia sebagai salah satu anggota baru BRICS bisa terdampak, terutama pada sektor ekspor strategis seperti produk tekstil, baja, dan agrikultur.
Selain itu, rencana tersebut juga bisa memperlemah upaya stabilisasi ekonomi global pasca pandemi.
Sejumlah pengamat menilai sikap Amerika Serikat ini justru memperlihatkan kekhawatiran terhadap potensi ekonomi BRICS yang semakin solid.
Aliansi ini kini mewakili hampir separuh populasi dunia dan memiliki posisi tawar yang signifikan dalam sektor energi, pertanian, hingga digitalisasi keuangan.***