JAKARTA– Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap dua perusahaan minyak terbesar Rusia, Rosneft dan Lukoil, pada Rabu (22/10/2025) waktu setempat, di tengah mandeknya upaya perdamaian perang Ukraina dan langkah serupa Uni Eropa membatasi pendapatan energi Moskow.
Seperti dilaporkan oleh kantor berita AFP pada Kamis (23/10/2025), sanksi AS ini bukan sekadar respons impulsif, melainkan eskalasi signifikan dari strategi tekanan ekonomi yang selama berbulan-bulan ditunda Trump. Latar belakangnya? Serangkaian pembicaraan pribadi antara Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin yang berujung buntu, termasuk pembatalan rencana pertemuan krusial di Budapest. Trump sendiri mengakui kekecewaannya yang mendalam atas kurangnya kemajuan konkret.
“Setiap kali saya berbicara dengan Vladimir, percakapan saya lancar, dan setelah itu tidak ada kelanjutannya,” kata Trump saat menjawab pertanyaan wartawan AFP di Ruang Oval, Gedung Putih.
Meski demikian, Trump menekankan bahwa tindakan ini diharapkan bersifat sementara, dengan harapan mendorong akhir konflik secepat mungkin. “Kami berharap perang akan berakhir,” ujarnya di samping Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte.
Sanksi Trump secara spesifik membekukan seluruh aset Rosneft dan Lukoil di wilayah AS, sambil melarang perusahaan-perusahaan Amerika untuk menjalin transaksi bisnis apa pun dengan kedua entitas tersebut. Langkah ini langsung menyasar tulang punggung ekonomi Rusia, di mana sektor minyak dan gas menyumbang porsi besar pendapatan negara untuk mendanai operasi militer di Ukraina—konflik yang telah merenggut nyawa ribuan jiwa dan mengganggu rantai pasok energi global.
Dampaknya, Analis memperkirakan sanksi ini bisa memicu fluktuasi harga minyak dunia, mengingat Rosneft dan Lukoil adalah pemain utama dalam produksi dan ekspor energi Rusia. Bagi Rusia, ini berarti potensi kerugian miliaran dolar, sementara bagi AS dan sekutunya, ini merupakan senjata baru untuk melemahkan “mesin perang Kremlin” tanpa konfrontasi militer langsung.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent menegaskan urgensi langkah ini dalam pernyataan resminya. “Mengingat penolakan Presiden Putin untuk mengakhiri perang yang tidak masuk akal ini, Departemen Keuangan memberikan sanksi kepada dua perusahaan minyak terbesar Rusia yang mendanai mesin perang Kremlin,” katanya. Bessent menambahkan bahwa ini merupakan “salah satu sanksi terbesar yang telah kami terapkan terhadap Federasi Rusia,” menandakan komitmen Washington untuk mempertahankan tekanan berkelan
Sementara itu, Uni Eropa tak tinggal diam. Blok 27 negara itu baru saja menyetujui paket sanksi ke-19 sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, dengan fokus utama membatasi ekspor minyak dan gas Rusia. Pengumuman ini disampaikan oleh seorang juru bicara kepresidenan Denmark, yang menyoroti upaya kolektif Eropa untuk mendukung inisiatif perdamaian Trump di tengah gelombang serangan Rusia yang tak kunjung reda.
Ironisnya, sanksi UE ini diumumkan hanya beberapa jam setelah serangan rudal Rusia terbaru di Ukraina yang menewaskan tujuh warga sipil—termasuk dua anak kecil—dan merobohkan sebuah taman kanak-kanak.
Insiden tragis ini semakin memperburuk situasi kemanusiaan di garis depan, di mana Ukraina—sekutu dekat Washington—terus bergulat melawan agresi berkepanjangan selama tiga setengah tahun.
Sekutu NATO pun ikut bersuara optimis. Rutte, yang akrab dijuluki “si pembisik Trump” karena kedekatannya dengan presiden AS, menyatakan keyakinannya pada efektivitas pendekatan gabungan ini. “Dengan tekanan yang berkelanjutan, kami akan dapat mengajak Putin ke meja perundingan untuk menyetujui gencatan senjata, dan kemudian perundingan lainnya setelahnya,” ungkap Rutte kepada wartawan usai pertemuan di Gedung Putih.
Perkembangan ini tak hanya mengguncang pasar energi global, tapi juga menambah lapisan kompleksitas pada dinamika geopolitik. Dengan Trump yang semakin vokal soal “kesabaran habis”, apakah sanksi ganda AS-UE ini akan memaksa Putin mundur.