JAKARTA – Setiap tanggal 16 Juni, sejarah mencatat perjuangan heroik rakyat Sumatera Barat (Sumbar) dalam Perang Belasting, sebuah pemberontakan melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1908.
Perlawanan ini dipicu oleh kebijakan pajak tanah yang memberatkan, memicu semangat juang rakyat Minangkabau untuk mempertahankan hak dan martabat mereka. Peristiwa ini bukan sekadar konflik, tetapi simbol keberanian rakyat menghadapi ketidakadilan penjajah.
Awal Mula Perang Belasting
Perang Belasting terjadi pada 15–16 Juni 1908, bermula dari penolakan rakyat Sumbar terhadap pajak langsung ( bahasa Belanda: belasting) yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kebijakan ini dianggap merampas hak rakyat atas tanah mereka, yang telah menjadi bagian dari kehidupan dan budaya Minangkabau selama berabad-abad.
“Perlawanan masyarakat atas pemberlakuan pajak langsung ini dibalas oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan reaksi keras mengirimkan marechaussee (marsose) ke daerah konflik tersebut yang akhirnya menimbulkan korban jiwa dari masyarakat maupun tentara kolonial,” tulis Garuda.Tv mengutip sumber dari Wikipedia.
Konflik bermula di Kamang, kemudian menyebar ke wilayah lain seperti Manggopoh dan Lintau Buo. Rakyat yang hanya dipersenjatai secara sederhana berhadapan dengan pasukan kolonial yang jauh lebih modern. Namun semangat pantang menyerah menjadikan perjuangan ini sebagai bukti kekuatan tekad rakyat Minangkabau melawan penindasan.
Semangat Perlawanan Rakyat Minangkabau
Perang Belasting bukan sekadar soal pajak, tetapi juga cerminan perlawanan terhadap dominasi asing yang mengancam identitas budaya dan otonomi lokal. Rakyat Minangkabau, yang dikenal dengan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah , menolak tunduk pada aturan yang dianggap tidak adil.
Menurut sejarawan, perlawanan ini merupakan bagian dari rangkaian panjang perjuangan rakyat Sumbar, termasuk Perang Padri (1821–1838).
“Serangan besar-besaran rakyat Sumbar ke Belanda pecah konsentrasi hadapi Pangeran Diponegoro,”
Dampak dan Warisan Perjuangan
Meskipun Perang Belasting berlangsung singkat, dampaknya sangat signifikan. Perlawanan ini menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak dan mengguncang stabilitas kekuasaan kolonial di Sumbar. Pemerintah Hindia Belanda bahkan mengerahkan pasukan **marechaussee** secara besar-besaran untuk meredam pemberontakan ini.
Peristiwa ini meninggalkan warisan semangat juang yang terus dikenang hingga kini. Rakyat Sumbar membuktikan bahwa keberanian dan persatuan bisa menggoyahkan dominasi penjajah, meski dengan sumber daya yang terbatas. Perang Belasting menjadi inspirasi perjuangan bangsa, termasuk pada masa Revolusi Kemerdekaan 1945–1949.
Makna Perang Belasting di Era Modern
Hari ini, kisah Perang Belasting mengajarkan pentingnya mempertahankan keadilan dan martabat, bahkan dalam keterbatasan. Dalam konteks modern, semangat itu masih relevan dalam menghadapi ketidakadilan sosial, ekonomi, hingga budaya.
“Perang Belasting adalah bukti bahwa rakyat biasa, dengan tekad kuat, mampu melawan ketidakadilan meski menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar,” ujar seorang sejarawan lokal di Padang yang enggan disebut namanya.
Kisah ini juga menjadi pengingat bahwa sejarah perjuangan Indonesia tidak hanya terpusat di Jawa, tetapi tersebar di berbagai daerah, termasuk Sumatera Barat.
Peringatan 16 Juni: Refleksi Sejarah
Setiap tanggal 16 Juni, peringatan Perang Belasting menjadi momen untuk merefleksikan keberanian leluhur dalam memperjuangkan keadilan.
Perang Belasting 1908 merupakan salah satu babak penting dalam sejarah perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap penjajahan Belanda.
Dengan semangat pantang menyerah, rakyat Minangkabau membuktikan bahwa ketidakadilan tidak akan diterima begitu saja.
Peristiwa ini bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga pelajaran berharga dalam memperjuangkan keadilan dan kebebasan.