JAKARTA – Nilai tukar rupiah kembali mencatatkan performa positif di tengah gejolak pasar global.
Bersama rupee India, rupiah menjadi mata uang terkuat di kawasan Asia Pasifik pada perdagangan Rabu (24/9).
Penguatan ini dipicu sentimen dari pernyataan pejabat Federal Reserve (The Fed) yang menyinggung arah kebijakan suku bunga Amerika Serikat.
Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menjelaskan bahwa arah kurs rupiah saat ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Ketua The Fed Jerome Powell dan Gubernur Michelle Bowman.
“Powell menekankan bahwa sinyal pelemahan pasar tenaga kerja AS mendorong the Fed untuk menyeimbangkan kembali prospek risikonya, dan mengafirmasi alasan penurunan suku bunga,” katanya dikutip dari Antara, Rabu (24/9/2025).
Powell juga menilai inflasi akibat kebijakan tarif AS masih berada di bawah ekspektasi.
Hal ini membuka peluang bagi bank sentral AS untuk menerapkan kebijakan moneter yang lebih longgar.
Sementara itu, Bowman mengingatkan risiko keterlambatan dalam penyesuaian kebijakan.
Ia menekankan perlunya pemangkasan suku bunga lebih awal guna menopang pasar tenaga kerja yang tengah melemah.
Faktor Domestik dan Fiskal Jadi Sorotan
Dari sisi domestik, pelaku pasar masih menunggu kepastian langkah lanjutan The Fed, sembari mencermati isu fiskal dalam negeri.
Investor disebut mengkhawatirkan pelebaran defisit setelah DPR mengesahkan APBN 2026.
“Target defisit direvisi naik menjadi 2,68 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) dari 2,48 persen pada pengumuman Agustus 2025, meskipun masih di bawah prospek defisit 2025 sebesar 2,78 persen dari PDB,” ujar Josua.
Pergerakan Rupiah dan Mata Uang Asia Pasifik
Pada penutupan perdagangan Rabu sore, rupiah terapresiasi tipis 3 poin atau 0,02 persen menjadi Rp16.684 per dolar AS dibandingkan posisi sebelumnya Rp16.688.
Namun, Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) justru mencatat pelemahan ke level Rp16.680 per dolar AS dari Rp16.636 sehari sebelumnya.
Di level regional, berdasarkan data Bloomberg, rupee India turut menguat 0,06 persen. Sebaliknya, mayoritas mata uang Asia Pasifik justru tertekan dolar AS.
Yen Jepang melemah paling dalam, turun 0,71 persen, disusul baht Thailand 0,61 persen, won Korea 0,52 persen, dolar Singapura 0,41 persen, ringgit Malaysia 0,36 persen, dan yuan China 0,22 persen.***