JAKARTA – Nilai tukar rupiah berhasil berbalik arah dan ditutup menguat pada akhir perdagangan Jumat (26/9/2025).
Pergerakan positif ini datang setelah Bank Indonesia (BI) kembali melakukan langkah strategis untuk menjaga stabilitas mata uang Garuda di tengah tekanan global.
Berdasarkan catatan Bloomberg, rupiah menanjak 11 poin atau 0,07 persen ke posisi Rp16.738 per dolar AS.
Padahal, pada sesi pembukaan perdagangan, rupiah sempat melanjutkan tren pelemahan sejak kemarin dan menyentuh Rp16.775 per dolar AS.
Penguatan tersebut menandai keberhasilan intervensi BI dalam meredam gejolak nilai tukar.
Kebijakan BI menjadi faktor kunci di balik penguatan rupiah hari ini. Sepanjang pekan, rupiah sempat tertekan cukup signifikan akibat faktor eksternal maupun sentimen domestik.
“Merespons perkembangan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini, BI kembali menegaskan komitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” tegas Gubernur BI, Perry Warjiyo, Jumat (26/9/2025).
Langkah Agresif BI Jaga Rupiah
Perry menjelaskan, BI menggunakan seluruh instrumen yang tersedia secara “bold” atau berani.
Intervensi dilakukan baik di pasar domestik maupun internasional, mulai dari Asia hingga Amerika dan Eropa, dengan tujuan menciptakan kestabilan jangka panjang.
Di pasar dalam negeri, BI memanfaatkan instrumen spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Sementara di pasar luar negeri, intervensi dilakukan melalui Non-Deliverable Forward (NDF).
“BI yakin, seluruh upaya yang dilakukan dapat menstabilkan nilai tukar rupiah sesuai nilai fundamentalnya. BI mengajak seluruh pelaku pasar untuk turut menjaga iklim pasar keuangan yang kondusif, sehingga stabilitas rupiah dapat tercapai,” lanjut Perry.
Analis Ingatkan Risiko Fluktuasi
Meski rupiah sempat mencatat penguatan, analis pasar uang Ibrahim Assuaibi mengingatkan bahwa pergerakan nilai tukar masih berpotensi fluktuatif.
Ia memprediksi rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.740–Rp16.810 per dolar AS.
Menurut Ibrahim, tekanan eksternal datang dari dinamika geopolitik di Eropa. Hal ini dipicu oleh pidato Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengancam negara-negara Eropa terkait pembelian minyak dari Rusia.
Sementara dari dalam negeri, wacana penerapan kembali tax amnesty jilid 3 memicu perdebatan publik, meski Kementerian Keuangan secara tegas menolak rencana tersebut.
“Faktor dalam negeri, yang mempengaruhi sentimen terhadap rupiah adalah rencana penerapan kembali tax amnesty jilid 3. Hal ini menimbulkan perdebatan, meski Menteri Keuangan menolak kebijakan tersebut,” jelas Ibrahim.
Dengan intervensi berkelanjutan dari BI, diharapkan kepercayaan pasar tetap terjaga meski bayangan ketidakpastian global masih menghantui.***