Hari ini menjadi tonggak bersejarah bagi sistem peradilan pidana Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna ke-8 Masa Sidang II Tahun 2025-2026 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Pengesahan dipimpin Ketua DPR Puan Maharani, dengan persetujuan bulat dari delapan fraksi, setelah laporan dari Ketua Komisi III Habiburokhman. Presiden Prabowo Subianto, melalui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, menyatakan setuju penuh, menandai akhir dari proses legislasi yang dimulai sejak Februari 2025. Undang-undang ini direncanakan berlaku mulai 1 Januari 2026, menggantikan KUHAP era kolonial yang telah berusia 70 tahun.
Kronologi Pengesahan: Dari Kesepakatan Komisi III hingga Palu Sidang DPR
Proses pembahasan RKUHAP berlangsung intensif sejak Februari 2025, melibatkan Panitia Khusus (Pansus) Komisi III DPR dan pemerintah. Pada 13 November 2025, Komisi III dan pemerintah menyepakati seluruh substansi dalam rapat pleno, membuka jalan ke tingkat II (paripurna).
Rapat paripurna hari ini berlangsung lancar: Puan bertanya, “Apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” Jawaban serentak “Setuju!” dari anggota DPR diikuti ketukan palu.
Habiburokhman menekankan bahwa substansi RKUHAP “hampir sepenuhnya bersumber dari masukan publik”, termasuk melalui hearing dan konsultasi. Namun, proses ini sempat menuai protes dari aktivis hukum seperti KontraS dan ICJR, yang melaporkan 11 anggota Panja ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR atas dugaan pelanggaran etik berdasarkan UU MD3.
Puan menanggapi dengan harapan publik tak terpapar hoaks: “Hoaks-hoaks yang beredar itu tidak betul, semoga kesalahpahaman bisa dipahami bersama.”