JAKARTA — Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyerukan reformasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Pernyataan ini muncul sebagai respons atas kasus pelecehan seksual oleh oknum dokter serta maraknya isu perundungan di kalangan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Budi menegaskan bahwa terdapat masalah mendasar dalam pendidikan dokter spesialis yang perlu segera dibenahi.
ia mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap tekanan psikologis yang dialami peserta PPDS.
“Kita ingat dulu ada bullying, kok bisa sampai begitu? Jadi ada tekanan kejiwaan yang sangat besar di banyak PPDS, dengan argumen supaya ketahanannya teruji,” ujar Budi.
Menurutnya, pendekatan seperti itu jauh dari ideal. Ia membandingkan dengan sistem pelatihan di TNI dan Polri yang dinilai lebih terstruktur dan terukur dalam menguji ketahanan mental.
“Ujian ketahanan mental di TNI dan Polri lebih sistematis dan terukur,” tambahnya.
Mengapa Sistem Pendidikan Kedokteran Perlu Direformasi?
Kasus pelecehan seksual dan perundungan yang mencuat, termasuk yang terjadi di Universitas Diponegoro (Undip), menjadi sorotan utama. Budi melihat adanya pola tekanan tidak sehat dalam sistem pendidikan dokter spesialis yang membahayakan kesehatan mental peserta.
Ia menilai bahwa pendidikan kedokteran harus lebih humanis, dengan fokus pada pengembangan kompetensi tanpa mengorbankan kesejahteraan psikologis.
Selain itu, Menkes mengkritik adanya tumpang tindih dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) antara pendidikan kedokteran dan pelayanan rumah sakit. Dalam pernyataannya kepada Metro TV, Budi menyebut pihaknya akan mengevaluasi SOP tersebut dalam waktu sebulan ke depan.
“Kami akan perbaiki tata kelola agar lebih jelas dan mendukung proses pendidikan yang berkualitas,” ujarnya.
Langkah Konkret untuk Perubahan
Tidak hanya menyampaikan kritik, Budi juga mengajukan solusi nyata. Salah satu gagasannya adalah mengadopsi sistem pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital-based) yang dinilai lebih efisien dan terjangkau. Dalam sistem ini, dokter muda bisa belajar langsung di rumah sakit, menerima gaji, dan tidak dibebani biaya kuliah tinggi.
“Di seluruh dunia, dokter spesialis dibayar selama pendidikan, bukan malah membayar,” tegasnya.
Ia juga mendorong penyederhanaan perizinan, termasuk Surat Tanda Registrasi (STR) yang hanya perlu diperoleh sekali seumur hidup, serta pengurangan birokrasi dalam pengurusan Surat Izin Praktik (SIP). Diharapkan, langkah ini bisa membantu dokter muda menjalani profesinya tanpa kendala administratif.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Budi menyadari bahwa reformasi pendidikan kedokteran tidak mudah. Ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk resistensi dari organisasi profesi kedokteran. Namun, ia tetap optimistis bahwa dengan dukungan Kementerian Pendidikan dan kolaborasi dengan rumah sakit, Indonesia dapat mencetak lebih banyak dokter spesialis yang berkualitas.
Masyarakat pun menyambut baik langkah Menkes ini. Kasus perundungan di Undip dan pelecehan oleh oknum dokter menjadi peringatan bahwa perubahan sistem pendidikan kedokteran bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
“Kami ingin dokter-dokter muda tidak hanya kompeten, tetapi juga sehat secara mental dan dihargai,” tutup Budi.




