JAKARTA – Tes psikologi calon PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) kini menjadi kebijakan resmi dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Hal ini menyusul meningkatnya kekhawatiran publik atas pelanggaran etik dalam dunia kedokteran.
Kebijakan ini diambil sebagai bentuk koreksi sistemik untuk menjamin mutu dan integritas dokter spesialis di masa depan.
Kementerian Kesehatan kini menerapkan pendekatan baru dalam penyaringan calon dokter spesialis melalui tes psikologi wajib.
Langkah ini bukan hanya reaksi atas sorotan publik terkait dugaan kekerasan oleh peserta PPDS di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Tapi juga sebagai upaya preventif menghadirkan dokter berkompetensi tinggi dan bermental sehat.
Tes psikologi calon PPDS dinilai penting untuk membangun fondasi etika yang kuat sejak tahap awal pendidikan spesialisasi.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyambut baik kebijakan ini.
Mereka menilai, pemeriksaan psikologis yang diterapkan secara sistematis bisa membantu menyaring bibit-bibit unggul yang tak hanya cerdas, tapi juga memiliki kestabilan mental dan karakter profesional.
“Tes psikologi dianggap penting untuk memastikan calon dokter spesialis memiliki kesehatan mental yang baik,” ungkap PDSKJI.
Secara sosial, kebijakan ini menjadi langkah penting dalam memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan dan praktik kedokteran.
Namun, penerapan kebijakan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Tes psikologi seperti MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) yang digunakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) membutuhkan sumber daya manusia profesional dan pendanaan yang tak sedikit.
Di sinilah tantangan logistik dan teknis muncul, terutama di institusi pendidikan yang belum memiliki akses serupa.
Kekhawatiran lain adalah risiko munculnya stigma terhadap calon dokter yang memiliki masalah psikologis ringan, padahal tetap memiliki potensi akademik dan etis yang baik.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan dituntut untuk menyusun mekanisme yang inklusif, transparan, dan edukatif, sehingga hasil tes psikologi tak dijadikan sebagai alat diskriminasi, tetapi sebagai bahan penguatan sistem pendidikan medis.
Jika diterapkan secara konsisten dan adil, langkah ini dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung, sehat, dan berorientasi pada kemanusiaan.
Dokter spesialis masa depan diharapkan tidak hanya andal secara klinis, tapi juga sanggup menjaga integritas profesi di tengah tekanan dan kompleksitas dunia medis.
Membangun Etika Sejak Dini
Kebijakan tes psikologi wajib calon PPDS merupakan langkah maju dalam mereformasi sistem pendidikan kedokteran Indonesia.
Dengan fokus pada aspek mental dan etika, kebijakan ini membawa harapan besar: mencetak dokter spesialis yang bukan hanya pintar, tetapi juga manusiawi.
Langkah Menkes ini perlu dibarengi dengan edukasi publik, penyediaan psikolog di setiap institusi pendidikan dokter spesialis, serta pengawasan berkelanjutan dari pihak independen.
Masa depan dunia medis Indonesia kini bergantung pada bagaimana kebijakan ini dijalankan: akankah menjadi pendorong perubahan positif atau justru menambah beban baru?
Jika dieksekusi dengan bijak, kebijakan ini tak hanya mengubah wajah pendidikan kedokteran, tapi juga memulihkan kepercayaan publik yang selama ini terkoyak.***