JAKARTA – Insiden bentrokan antara anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Persaudaraan Setia Hati Winongo (PSHW) kembali terjadi di Magetan, Jawa Timur, Minggu, 20 April 2025.
Pertikaian dua perguruan silat bersaudara ini menjadi sorotan publik karena dinilai mencerminkan konflik yang tak kunjung diselesaikan secara tuntas, meski sudah banyak inisiatif damai yang dilakukan.
Benturan fisik kali ini pecah di Desa Madigondo, Kecamatan Takeran, tak lama setelah rombongan PSHT pulang dari kegiatan halal bihalal.
Mereka diduga mendapat penyekatan oleh kelompok PSHW, sehingga memicu reaksi emosional yang berujung kericuhan.
Dalam unggahan akun X @ilhampid, warga mengaku gelisah: “Kericuhan PSHT dan PSHW sampe membuat warga madigondo takeran magetan gelisah.”
Konflik PSHT dan PSHW seakan terus hidup, memperpanjang daftar benturan antaranggota perguruan yang berasal dari akar sejarah yang sama.
Kedua perguruan ini sesungguhnya memiliki benang merah yang kuat, yakni berasal dari ajaran Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo, tokoh yang mendirikan Setia Hati pada 1917 di Winongo.
Namun, seiring waktu, perbedaan arah organisasi memisahkan PSHT yang dibentuk Ki Hadjar Hardjo Oetomo (1922) dan PSHW yang lahir lewat inisiatif Raden Djimat Hendro Soewarno (1966).
Perbedaan tersebut kini menjelma menjadi rivalitas terbuka yang bahkan menjalar ke jalanan, bukannya disalurkan secara damai dan terhormat.
Potensi Bersatu Terhalang Ego
Keresahan terhadap kekerasan ini semakin mencuat di media sosial.
Salah satu usulan datang dari akun @sakaparaning yang menyebut: “Caranya mulai ketua cabang, ketua ranting, ketua rayon buatkan separing adu silat di atas matras antar pendekar PSHT dan PSHW.”
Usulan ini mencerminkan keinginan publik agar pertarungan fisik diganti dengan kompetisi sehat di arena resmi, bukan konflik jalanan yang mengancam keamanan warga.
Pemerintah daerah dan aparat keamanan sejatinya telah berusaha mempertemukan dua kelompok ini melalui berbagai program seperti Kampung Pesilat dan festival silat tahunan.
Sayangnya, langkah-langkah tersebut masih terkendala oleh egoisme segelintir anggota dan provokasi liar yang menyebar di media sosial.
Dengan sejarah panjang dan jutaan pengikut setia, PSHT dan PSHW sesungguhnya memiliki kekuatan untuk menjadi teladan persatuan dalam keberagaman.
Namun, tantangan nyata justru datang dari dalam: komitmen para pimpinan dan konsistensi untuk menjaga nilai luhur pencak silat.
Tanpa langkah tegas dari para pengurus pusat, dan tanpa penegasan batas antara loyalitas dan provokasi, konflik seperti di Magetan berisiko terus terulang.
Momen halal bihalal seharusnya menjadi simbol persaudaraan, bukan pemicu perpecahan.
Inilah saatnya dua perguruan besar ini membuktikan bahwa mereka lebih besar dari sekadar rivalitas – bahwa mereka mampu berdamai, seperti halnya nilai luhur yang diwariskan oleh guru mereka satu abad silam.***