JAKARTA – Donald Trump memenangkan pemilu AS 2024, mengalahkan Kamala Harris dari Partai Demokrat. Kemenangan ini menandai kembalinya Trump ke Gedung Putih untuk periode keduanya sebagai Presiden AS.
Kepastian kemenangan Trump diumumkan pada Rabu (6/11/2024) dengan perolehan 277 suara elektoral, melebihi ambang batas 270 suara yang diperlukan.
Trump juga unggul dalam popular vote, mengantongi 72.083.871 suara (51%) dibandingkan Kamala yang memperoleh 67.274.910 suara (48%).
Dampak pada Pasar Saham Indonesia
Mengacu pada periode pertama Trump (2017-2021), pasar saham Indonesia menunjukkan stabilitas yang kuat. Berdasarkan data Refinitiv, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Januari 2017 tercatat di 5.294 dan meningkat hingga 5.862 pada Januari 2021, mengalami kenaikan sebesar 10,73% selama empat tahun.
Di bawah kebijakan ekonomi Trump sebelumnya, IHSG cenderung terkonsolidasi, dengan periode penurunan tajam pada Maret 2020 akibat pandemi Covid-19. Namun, IHSG kembali pulih pada paruh kedua 2020 hingga awal 2021.
Fluktuasi Rupiah dan Kebijakan Ekonomi AS
Selain dampak pada IHSG, kurs Rupiah terhadap dolar AS juga mencatatkan pelemahan sekitar 5,04% selama periode pertama Trump, dari Rp13.347/US$ ke Rp14.020/US$.
Trump menerapkan kebijakan yang mendorong depresiasi indeks dolar AS (DXY) hingga 8,97% untuk memperkuat daya saing produk AS di pasar internasional.
Kebijakan ini membuka peluang bagi produk ekspor AS untuk lebih kompetitif di pasar global, yang mungkin memengaruhi nilai tukar dan ekspor negara lain, termasuk Indonesia.
Potensi Pengaruh pada Inflasi dan Suku Bunga Global
Kemenangan Trump diperkirakan akan turut memengaruhi inflasi global, terutama terkait potensi ketegangan perdagangan antara AS dan China.
Perang dagang jilid kedua ini bisa memicu lonjakan harga barang di pasar internasional. Selain itu, produksi minyak yang stabil diperkirakan akan menjaga inflasi AS tetap terkendali, meski harga minyak mungkin sedikit menurun.
Suku bunga bank sentral AS (The Fed) pun diprediksi akan tetap sulit dipangkas secara signifikan, sehingga bank sentral negara lain, termasuk Bank Indonesia (BI), kemungkinan akan menghadapi tantangan serupa.