JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bergerak cepat dalam pembahasan revisi Tata Tertib (Tatib). Hanya butuh waktu satu hari, revisi tatib langsung disahkan.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tatib pada Senin (3/2), dan langsung mengesahkannya dalam rapat paripurna keesokan harinya, Selasa (4/2). Sidang paripurna ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Adies Kadir.
Dalam perubahan aturan ini, DPR kini memiliki kewenangan untuk mengevaluasi pejabat negara yang telah lolos uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) serta telah ditetapkan dalam rapat paripurna.
Pejabat yang dapat dievaluasi mencakup pimpinan KPK, Panglima TNI, Kapolri, Komisioner KPU, Bawaslu, serta hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
Motif Dipertanyakan
Revisi ini menimbulkan tanda tanya besar terkait motif di balik perubahan mendadak tersebut. Apakah langkah ini benar demi efektivitas pemerintahan atau justru menjadi alat politik baru?
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, menilai revisi tersebut berpotensi menabrak prinsip ketatanegaraan.
Menurutnya, aturan tata tertib semestinya hanya mengatur internal DPR, bukan memberikan kewenangan baru yang dapat mengancam independensi lembaga negara.
“Ini tidak perlu Ketua MKMK yang jawab. Cukup mahasiswa hukum semester tiga. Dari mana ilmunya ada tata tertib bisa mengikat keluar?”
“Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum?”
“Jika mereka mengerti tetapi tetap juga melakukan, berarti mereka tidak mau negeri ini tegak di atas hukum dasar (UUD 1945) tetapi di atas hukum yang mereka suka dan mau, dan mengamankan kepentingannya sendiri. Rusak negara ini, bos,” kata Palguna, Rabu (5/2).
Dalam revisi tersebut, DPR memberikan dirinya kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR.
Sebelumnya disampaikan Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan, jika hasil evaluasi menunjukkan kinerja yang dinilai tidak memenuhi harapan, DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian.
“Dengan pasal 228A diselipkan, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan calon-calon yang sebelumnya dilakukan fit and proper test melalui DPR,” ujar Bob Hasan di Gedung DPR RI, Selasa (4/2/2025).
Bob menegaskan bahwa hasil evaluasi ini bersifat mengikat dan dapat berujung pada rekomendasi pemberhentian pejabat yang dinilai tidak optimal dalam menjalankan tugasnya.
“Iya, itu kan ujungnya masalah pemberhentian dan keberlanjutan daripada pejabat ataupun calon yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR,” lanjut Bob.***