JAKARTA – Transformasi digital di sektor agraria terus mengalami kemajuan. Salah satu langkah penting yang diambil adalah penerapan sertifikat tanah elektronik oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021.
Inovasi ini bertujuan mempercepat proses pendaftaran tanah sekaligus meningkatkan kepastian hukum atas kepemilikan.
Namun, di balik kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan, muncul berbagai tantangan serius—terutama terkait keamanan data, validitas hukum dokumen digital, serta kesiapan infrastruktur dan literasi digital masyarakat.
Sertifikat Tanah Elektronik, Solusi Digital Kepemilikan Tanah
Sertifikat tanah elektronik hadir sebagai solusi modern untuk menggantikan dokumen fisik yang rentan terhadap kerusakan atau kehilangan. Melalui sistem digital yang terintegrasi, masyarakat dapat mengakses bukti kepemilikan tanah hanya dalam beberapa klik.
“Dengan pemberian sertifikat tanah, penting bagi pemegang hak atas tanah agar dengan mudah membuktikan bahwa dialah yang berhak atas suatu bidang,” ujar Ketua Pusat Kajian Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam (PK HASA). Aarce Tehupeiory,
ATR/BPN menyatakan bahwa sistem ini didukung dengan fitur keamanan berlapis, mulai dari enkripsi data hingga autentikasi pengguna, demi mencegah penyalahgunaan dan menjaga keabsahan hukum dokumen.
“Selain dari segi kekuatan pembuktian, dari segi keamanan, Kementerian ATR/BPN sangat concern untuk memberikan rasa aman bagi pemegangnya,” tambah Aarce.
Tantangan Hukum dan Teknis dalam Implementasi
Meski memiliki dasar hukum melalui UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, implementasi sertifikat tanah digital menghadapi berbagai tantangan.
Salah satu masalah utama adalah potensi kebocoran data pribadi serta meningkatnya ancaman kejahatan siber. Selain itu, rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, membuat banyak warga belum siap menghadapi sistem baru ini—baik dari sisi pemahaman maupun aksesibilitas.
Tak kalah penting, keterbatasan infrastruktur teknologi di kantor pertanahan juga menjadi hambatan serius. Proses validasi data sering kali terhambat karena sistem yang belum memadai dan kurang terintegrasi.
Penguatan Perlindungan dan Sosialisasi
Untuk menjawab tantangan ini, Aarce Tehupeiory memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah agar penerapan sertifikat elektronik berjalan efektif dan aman:
Penguatan sistem keamanan digital, melalui enkripsi dan proteksi berlapis.
Edukasi dan sosialisasi masif kepada masyarakat, terutama di wilayah tertinggal.
Sinkronisasi data antarinstansi, seperti antara ATR/BPN dan Dukcapil, untuk memastikan keakuratan identitas pemilik tanah.
Percepatan pembangunan infrastruktur digital di seluruh kantor pertanahan di Indonesia.
“Teknologi memang memberikan solusi, tetapi hukum dan edukasi adalah fondasi agar solusi itu tidak berubah menjadi masalah baru,” tegas Aarce.
Masa Depan Sertifikat Tanah Digital, Inovasi yang Perlu Dikawal
Digitalisasi sistem pertanahan melalui sertifikat elektronik merupakan langkah strategis menuju modernisasi birokrasi agraria. Jika diterapkan dengan tepat, sistem ini berpotensi besar meningkatkan efisiensi, transparansi, dan keamanan dalam kepemilikan tanah.
Namun, tanpa jaminan perlindungan hukum dan kesiapan masyarakat, inovasi ini bisa menimbulkan persoalan baru. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, akademisi, masyarakat, dan sektor teknologi menjadi sangat penting agar sertifikat tanah elektronik benar-benar menjadi instrumen legal yang aman, sah, dan terpercaya.
Pemerintah dan pembentuk undang-undang pun perlu menyusun hukum acara yang lebih rinci, termasuk pengawasan eksternal dan sistem audit berkala untuk memastikan keabsahan data. Diperlukan juga pembentukan peraturan teknis atau SOP yang menjamin asas transparansi, perlindungan hukum, dan kepastian hukum bagi pemegang hak.
Selain itu, pengawasan independen terhadap sistem digitalisasi perlu dilakukan secara konsisten, dengan dukungan teknologi seperti blockchain, yang menawarkan transparansi dan pencatatan yang tidak dapat diubah. Hukum acara juga harus mengatur mekanisme pembuktian di pengadilan, jika terjadi sengketa atas sertifikat digital.