JAKARTA – Gelombang demonstrasi menolak serangan udara pemerintahan Trump terhadap Iran meletup di lebih dari selusin kota di Amerika Serikat pada hari Minggu.
Aksi ini diwarnai kemarahan terhadap kebijakan luar negeri yang dinilai membahayakan stabilitas global dan menambah ketegangan geopolitik di Timur Tengah, konflik Iran-Israel.
Para peserta membawa spanduk dan simbol penolakan terhadap perang, berkumpul dari New York hingga Los Angeles dalam unjuk rasa yang digelar secara spontan.
Meski sebagian hanya diikuti puluhan orang, beberapa kota seperti Chicago dan Washington mencatat kehadiran ratusan warga.
Namun, jumlah peserta masih di bawah gelombang demonstrasi “No Kings” akhir pekan sebelumnya yang tersebar di seluruh 50 negara bagian.
Seperti dikabarkan Nytimes Senin (23/6/2025), banyak dari aksi ini digambarkan penyelenggara sebagai bentuk “mobilisasi darurat” menyikapi meningkatnya potensi konflik antara AS dan Iran.
Di berbagai titik strategis kota, demonstran menempelkan banner bertuliskan “Tidak Ada Perang di Iran!” dan mengibarkan bendera Iran sebagai simbol solidaritas.
Seruan itu menggema di jalanan kota besar, menyerukan agar pemerintah AS menempuh jalur damai, bukan aksi militer.
Protes di Depan Gedung Putih dan Kisah Imigran dari Iran
Di Washington, sekitar 200 warga berkumpul di depan pagar Gedung Putih. Mereka mengecam Presiden Donald Trump, termasuk sejumlah veteran yang menilai pendekatannya membahayakan perdamaian.
“Dia berusaha menjadi raja,” kata Ron Carmichael, 78 tahun, pensiunan pilot helikopter dalam Perang Vietnam.
Sementara itu, di pusat kota Chicago, lebih dari 200 orang turut turun ke jalan, termasuk Ali Tarokh, imigran asal Iran yang menetap di AS sejak 12 tahun lalu.
Setelah pernah dipenjara selama dua tahun di Iran karena aktivitas politik, ia menyebut serangan udara terhadap negaranya sebagai langkah yang “terburuk yang bisa terjadi.”
Tarokh menilai bahwa meski ia menentang pemerintahan Iran, perubahan harus dilakukan secara bertahap. “Perubahan rezim hampir tidak mungkin di sana,” ujarnya.
Ia juga mengkritik sikap Trump dan Netanyahu yang dinilainya justru memperlambat proses menuju demokrasi sejati di Iran.
Ketegangan Timur Tengah dan Kepedulian Diaspora Palestina
Dalam aksi di Los Angeles, Noor Abdel-Haq, perawat muda berusia 26 tahun, menyatakan keprihatinan atas meningkatnya konflik yang turut menyentuh keluarganya di Gaza dan Tepi Barat.
“Kami tidak ingin lebih banyak pembunuhan dan kehancuran,” katanya di sela-sela demonstrasi damai yang dihadiri puluhan peserta di kawasan Westwood. Di lokasi tersebut, sejumlah Marinir dan agen federal tampak berjaga dengan senjata lengkap.
Sementara itu, di Richmond, Virginia, suhu panas yang mencapai 37 derajat Celsius tak menyurutkan semangat Violeta Vega, 23 tahun, aktivis dari Partai untuk Sosialisme dan Pembebasan.
Di Taman Abner Clay, ia memimpin teriakan protes: “Uang untuk pekerjaan dan pendidikan, bukan untuk perang dan pendudukan!”
Suaranya serak usai memimpin puluhan massa, namun ia menyebut aksi ini sebagai bentuk perlawanan kolektif yang penting. “Saya merasa diberdayakan mengetahui bahwa ini adalah hari aksi di seluruh negeri,” ucapnya penuh semangat.***