HONG KONG – Pemerintah Hong Kong akan membentuk komite independen yang dipimpin hakim untuk menyelidiki kebakaran paling mematikan di kota itu dalam beberapa dekade. Kebakaran di kompleks Wang Fuk Court menewaskan sedikitnya 151 orang dan memicu kritik atas pengawasan pemerintah terhadap renovasi bangunan.
“Untuk menghindari tragedi serupa terulang, saya akan membentuk komite independen yang dipimpin hakim untuk memeriksa alasan di balik penyebab dan penyebaran cepat (kebakaran) serta isu-isu terkait,” ujar Kepala Eksekutif Hong Kong John Lee dalam konferensi pers, Selasa (2/12/2025) seperti dilansir dari Reuters.
Polisi telah menangkap 13 orang atas dugaan pembunuhan dan 12 orang lainnya dalam kasus korupsi terkait tragedi tersebut. Material jaring plastik dan busa insulasi di bawah standar yang digunakan kontraktor disebut sebagai pemicu api yang cepat menjalar ke tujuh menara tinggi berisi lebih dari 4.000 penghuni.
Hingga kini, penyidik menemukan jenazah korban di tangga dan atap gedung, sementara sekitar 30 orang masih hilang. Ribuan warga kota memberikan penghormatan kepada para korban, termasuk sembilan pekerja migran asal Indonesia dan satu dari Filipina. Acara peringatan juga dijadwalkan berlangsung di Tokyo, Taipei, dan London.
BNPB Hong Kong mencatat, kebakaran turut menewaskan lebih dari 60 hewan peliharaan, sementara 200 lainnya berhasil diselamatkan. Sekitar 1.500 orang telah dipindahkan ke perumahan sementara, dengan 945 lainnya ditempatkan di hostel pemuda dan hotel. Pemerintah menawarkan dana darurat HK$10.000 (US$1.284) per rumah tangga serta bantuan penerbitan dokumen baru bagi korban.
Di sisi lain, kelompok masyarakat sipil menuntut transparansi, sementara otoritas memperingatkan agar tragedi ini tidak dipolitisasi. Human Rights Watch menilai pemerintah berupaya menekan kritik. “Sangat penting untuk tidak memperlakukan mereka yang menuntut jawaban atas kebakaran tragis ini sebagai penjahat,” kata Elaine Pearson, Direktur Asia HRW.
Pemilihan legislatif Hong Kong tetap dijadwalkan berlangsung Minggu mendatang, dengan hanya kandidat yang disaring pemerintah sebagai “patriot” yang dapat mencalonkan diri. Tingkat partisipasi pemilih diperkirakan menjadi barometer frustrasi publik atas penanganan bencana.