BANDUNG – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menegaskan wisuda sekolah di Jawa Barat dilarang. Dedi mengklaim wisuda Sekolah berawal dari aduan orangtua murid.
“Saya tidak akan mendengar siapa pun.” katanya seperti yang dikutip dari Inews.id
Kebijakan ini memicu gelombang pro dan kontra di masyarakat.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyebut wisuda sebagai momen syukur yang dapat mempererat hubungan orang tua dan sekolah. Namun, Dedi bersikukuh bahwa larangan ini demi melindungi masyarakat, khususnya keluarga kurang mampu, dari beban biaya yang tidak perlu.
“Wisuda itu tidak boleh ada. Kenaikan kelas, ya kenaikan kelas. Kelulusan, ya kelulusan,” ujarnya, menegaskan bahwa pendidikan harus fokus pada esensi, bukan seremonial.
Kebijakan Dedi Mulyadi: Solusi atau Kontroversi?
Dedi Mulyadi menilai wisuda sekolah, mulai dari TK hingga SMA, hanya menambah beban finansial bagi orang tua. Menurutnya, dana yang dikeluarkan untuk acara tersebut lebih baik dialihkan untuk kebutuhan primer, seperti keperluan sehari-hari atau pendidikan lanjutan.
Ia bahkan mengklaim banyak orang tua di Jawa Barat mendukung kebijakan ini, terutama dari kalangan ekonomi lemah.
Namun, pernyataan Dedi menuai kritik tajam, terutama dari siswa dan orang tua yang melihat wisuda sebagai momen berharga. Salah satu siswa, Aura Cinta, bahkan berani berdebat langsung dengan Dedi.
Ia menyuarakan bahwa wisuda bukan sekadar soal biaya, melainkan simbol kebersamaan dan kenangan tak terlupakan.
“Ini bukan soal biaya atau kemewahan, ini soal penghargaan terhadap apa yang telah kami capai bersama sebagai simbol kebersamaan yang tak bisa diulang,” kata Aura.
Mendikdasmen vs Dedi: Perbedaan Visi Pendidikan
Abdul Mu’ti menawarkan pandangan yang lebih fleksibel. Ia berpendapat bahwa wisuda boleh digelar selama tidak membebani orang tua dan mendapat persetujuan bersama.
“Kalau menurut saya begini, sepanjang itu tidak memberatkan dan atas persetujuan orang tua dan murid, ya masa sih tidak boleh, gitu kan. Yang penting wisuda itu jangan berlebih-lebihan dan juga jangan dipaksakan,” ungkapnya di Depok, Jawa Barat.
Pernyataan ini menjadi bantahan terhadap kebijakan Dedi, yang dinilai terlalu kaku.
Mu’ti menekankan pentingnya kebebasan bagi sekolah dalam menentukan kebijakan wisuda dengan mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi siswa.
Ia juga menyoroti pentingnya komunikasi terbuka antara sekolah, orang tua, dan siswa untuk mencapai solusi terbaik.
Reaksi Publik: Dukungan dan Penolakan
Kebijakan Dedi Mulyadi memicu diskusi panas di media sosial. Sebagian warganet mendukung langkahnya, menganggap wisuda sebagai acara yang berlebihan dan bisa memicu praktik pinjaman online atau rentenir.
“Gubernur Jabar Dedi Mulyadi tegaskan larangan wisuda sekolah di wilayahnya, bertolak belakang dengan izin Mendikdasmen. Dedi khawatir acara wisuda membebani orang tua hingga memicu praktik pinjol dan rentenir yang berdampak pada angka kemiskinan,” tulis akun @Faktacom_ di X.
Namun, tak sedikit pula yang menentang, terutama siswa dan orang tua yang merasa kehilangan momen bersejarah. Seorang wali murid di Bekasi, Rukina, menyatakan, “Ya karena biasanya wisuda satu paket terkait perpisahan dan satu paket, nah jadi menurut saya boleh saja dan sifatnya tidak memaksa.”
Dedi Mulyadi dikenal sebagai pemimpin yang tak gentar menghadapi kritik, bahkan ancaman. Baru-baru ini, ia juga menuai perhatian karena rencananya mengirim siswa bermasalah ke barak militer untuk pendisiplinan, sebuah ide yang kembali memicu perdebatan. Sikapnya yang tegas dan tak kompromi, seperti dalam kasus larangan wisuda ini, menunjukkan karakternya sebagai pemimpin yang berpegang pada visi tertentu, meski sering kali menuai kontroversi.