JAKARTA – Pemerintah Inggris mengeluarkan kebijakan tegas dengan memperketat aturan pengisian daya ponsel di mobil listrik buatan China. Langkah ini dipicu oleh kekhawatiran serius terhadap potensi spionase melalui teknologi canggih yang tertanam di kendaraan tersebut.
Kebijakan ini mencuat setelah sejumlah perusahaan pertahanan ternama di Inggris, seperti BAE Systems dan Rolls-Royce, melarang karyawan mereka mengisi daya ponsel di mobil listrik asal China.
“Inggris kini memperketat pengawasan terkait pengisian daya ponsel di mobil listrik buatan China, menyusul kekhawatiran adanya potensi spionase melalui teknologi kendaraan tersebut,” tulis akun resmi @Beritasatu di platform X pada 29 April 2025.
Mengapa Inggris Khawatir?
Mobil listrik modern, termasuk yang diproduksi oleh perusahaan China, dilengkapi dengan teknologi cerdas seperti sistem infotainment, sensor, dan konektivitas internet.
Teknologi ini memungkinkan kendaraan mengumpulkan data pengguna, mulai dari lokasi, pola perjalanan, hingga aktivitas ponsel yang terhubung. Pemerintah Inggris khawatir data sensitif warganya bisa disalahgunakan untuk kepentingan spionase, terutama oleh pihak asing.
Menurut laporan dari Timetoday.id, kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. “Inggris kini tengah memperketat aturan terkait pengisian daya ponsel di mobil listrik asal China, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran,” tulis mereka pada 28 April 2025.
Ancaman keamanan siber menjadi sorotan utama karena mobil listrik memiliki sistem yang terhubung langsung dengan perangkat pengguna, yang berpotensi menjadi celah bagi peretas atau pihak tak bertanggung jawab.
Langkah Perusahaan Pertahanan Inggris
BAE Systems dan Rolls-Royce, dua raksasa industri pertahanan Inggris, menjadi pelopor dalam menerapkan larangan ini. Mereka memerintahkan karyawan untuk menghindari penggunaan port pengisian daya di mobil listrik China demi mencegah kebocoran data rahasia. Langkah ini diambil karena kedua perusahaan kerap menangani proyek-proyek strategis yang berkaitan dengan keamanan nasional.
Kebijakan ini juga mencerminkan ketegangan geopolitik yang kian memanas antara Inggris dan China, terutama di sektor teknologi. Sebelumnya, Inggris telah melarang penggunaan peralatan telekomunikasi Huawei dalam jaringan 5G mereka karena alasan serupa, yaitu risiko keamanan nasional.
Dampak pada Konsumen dan Industri
Larangan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan di kalangan konsumen. Bagi pemilik mobil listrik China, seperti merek BYD, NIO, atau Xpeng yang kian populer di Eropa, kebijakan ini bisa mengurangi kepraktisan penggunaan kendaraan mereka. Port pengisian daya di mobil sering menjadi solusi cepat untuk mengisi daya ponsel saat bepergian, dan larangan ini membuat pengguna harus mencari alternatif lain.
Di sisi lain, kebijakan ini dapat memengaruhi citra merek mobil listrik China di pasar global. Meski menawarkan harga kompetitif dan teknologi canggih, tuduhan spionase bisa membuat konsumen ragu. Padahal, seperti dilansir BeritaSatu.com, mobil listrik China seperti Leapmotor B10 berhasil mencatat penjualan 31.000 unit dalam 48 jam, menunjukkan daya tarik kuat di pasar.
Apa Kata Pengamat?
Beberapa pakar teknologi menilai langkah Inggris ini sebagai bentuk kehati-hatian yang wajar di era digital. “Mobil listrik adalah komputer beroda. Mereka bisa merekam dan mengirim data dalam jumlah besar. Tanpa regulasi ketat, ini bisa menjadi ancaman nyata,” ujar Dr. James Carter, analis keamanan siber dari London Tech Institute.
Namun, ada pula yang menganggap kebijakan ini berlebihan. “Belum ada bukti konkret bahwa mobil listrik China digunakan untuk spionase. Ini bisa jadi bagian dari narasi geopolitik untuk menekan dominasi China di industri otomotif,” kata Sarah Lin, konsultan otomotif independen.
Langkah ke Depan
Pemerintah Inggris dikabarkan sedang menyusun regulasi lebih ketat untuk mengawasi teknologi kendaraan listrik, termasuk pemeriksaan mendalam terhadap perangkat lunak yang digunakan. Sementara itu, konsumen disarankan untuk lebih waspada dalam menggunakan fitur konektivitas di mobil listrik, seperti mematikan sinkronisasi otomatis atau menggunakan kabel pengisian daya pribadi.
Kebijakan ini juga menjadi pengingat bagi negara lain, termasuk Indonesia, untuk memperhatikan aspek keamanan siber dalam adopsi mobil listrik. Di Indonesia sendiri, merek-merek China seperti Wuling, Chery, dan Neta sedang gencar berekspansi, dengan empat produsen telah menjadikan Indonesia sebagai basis manufaktur mereka.
Larangan pengisian daya ponsel di mobil listrik China oleh Inggris menyoroti dilema antara inovasi teknologi dan keamanan data.
Meski bertujuan melindungi warga dari ancaman spionase, kebijakan ini juga memicu perdebatan tentang keadilan dan dampaknya pada industri otomotif global. Bagi konsumen, langkah ini menjadi sinyal untuk lebih bijak dalam manganoan teknologi canggih di sekitar mereka.