SUKABUMI – Polda Jawa Barat menambah satu tersangka dalam kasus perusakan rumah singgah di Desa Tangkil, Sukabumi, saat retret pelajar Kristen. Total kini delapan orang ditetapkan sebagai pelaku, yang menyebabkan kerugian materi mencapai Rp50 juta. Insiden ini terus memicu perhatian dan penyelidikan intensif.
Peristiwa ini bermula pada Jumat, 27 Juni 2025, ketika sekelompok warga menyerang rumah milik Maria Veronica Nina (70) yang digunakan untuk kegiatan retret keagamaan.
Sebanyak 36 peserta, termasuk anak-anak dan pendamping, menjadi saksi kekisruhan tersebut. Aksi perusakan ini dipicu oleh mispersepsi warga yang mengira rumah tersebut dijadikan tempat ibadah permanen tanpa izin.
Menurut Kapolda Jawa Barat, Irjen Rudi Setiawan, penetapan tersangka dilakukan berdasarkan laporan dari Yohanes Wedy pada 28 Juni 2025.
“Kami pun telah meminta keterangan saksi-saksi dalam kasus ini,” ujar Rudi dalam keterangannya, Selasa (1/7/2025).
Kronologi dan Peran Tersangka
Kericuhan terjadi saat warga mendatangi rumah yang dikenal sebagai Villa Ninna. Mereka merusak sejumlah properti, termasuk pagar, kaca jendela, pot bunga, dua unit gazebo, hingga sebuah motor yang didorong ke sungai. Video perusakan yang diunggah akun Instagram @sukabumisatu menjadi viral, memperlihatkan massa menurunkan kayu salib sambil berteriak.
Pihak kepolisian menyebut tersangka berinisial RN memimpin aksi dengan merusak pagar dan mengangkat salib, sementara lima tersangka lain—UE, EM, MD, H, dan EM—berkontribusi dalam perusakan pagar. Dua tersangka lainnya, termasuk satu yang baru ditetapkan, diduga terlibat dalam aksi anarkis tersebut. “Polisi turun tangan, kemudian menetapkan tujuh orang sebagai tersangka,” kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan, Rabu (2/7/2025).
Respons Pihak Berwenang dan Masyarakat
Wakil Bupati Sukabumi, Andreas, memastikan situasi di Desa Tangkil kini telah kondusif. Namun, insiden ini menuai keprihatinan luas. Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono mengecam aksi tersebut sebagai ancaman terhadap harmoni sosial. “Perbuatan main hakim sendiri seperti itu berarti telah mendegradasi peran negara, mencederai nilai Pancasila, serta mengancam harmoni sosial dan integritas kebangsaan,” tegasnya, Kamis (3/7/2025).
Sementara itu, Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) menyatakan kesiapannya menjadi penjamin untuk penangguhan penahanan para tersangka. Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, menyebut peristiwa ini berawal dari miskomunikasi. “Kami siap dari Kementerian HAM untuk memberikan jaminan agar para tujuh tersangka kami lakukan penangguhan penahanan dan ini (permintaan penangguhan penahanan) kami akan sampaikan secara resmi kepada pihak kepolisian,” ujar Thomas di Pendopo Kabupaten Sukabumi, Kamis (3/7/2025).
Namun, rencana penangguhan ini menuai penolakan dari Gerakan Kristiani Indonesia Raya (GEKIRA). Ketua Umum GEKIRA, Nikson Silalahi, menegaskan pihaknya menolak intervensi dalam proses hukum. “Kami menolak dan berkeberatan sehubungan dengan rencana dari Kementerian HAM yang menjadi penjamin untuk melakukan penangguhan penahanan terhadap tujuh tersangka,” kata Paparang, Jumat (4/7/2025).
Dampak dan Harapan ke Depan
Insiden ini menjadi sorotan karena mencerminkan tantangan toleransi beragama di Indonesia. Wakil Ketua DPR Jabar, Ono Surono, menyayangkan kekerasan terjadi dan menyerukan dialog untuk mencegah konflik serupa. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, juga menegaskan bahwa proses hukum akan berjalan transparan, dengan bantuan Rp100 juta untuk korban perusakan.
Polda Jabar memastikan penegakan hukum dilakukan untuk memberikan keadilan bagi korban dan menjaga stabilitas wilayah. Dengan bertambahnya tersangka menjadi delapan orang, penyidikan terus berlanjut untuk mengungkap motif dan memastikan tidak ada pihak lain yang terlibat.