JAKARTA – Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Jumat, 21 Maret 2025.
Kurs rupiah ditutup pada level Rp16.501 per dolar AS, melemah 16,50 basis poin (0,10%) dibandingkan dengan perdagangan sebelumnya.
Pelemahan rupiah ini terjadi di tengah tren koreksi yang dialami mayoritas mata uang utama Asia Pasifik terhadap dolar AS.
Yen Jepang turun 0,36%, peso Filipina anjlok 0,23%, dolar Singapura terkoreksi 0,09%, dan yuan China terdepresiasi 0,03%.
Mata uang yang mengalami pelemahan paling tajam adalah baht Thailand, yang anjlok 0,64% pada akhir perdagangan kemarin.
Penurunan signifikan ini mencerminkan tekanan yang meningkat di pasar keuangan Asia akibat ketidakpastian kebijakan moneter global.
Namun, tidak semua mata uang Asia mengalami pelemahan.
Dolar Australia berhasil menguat 0,48%, rupee India naik 0,45%, won Korea terapresiasi 0,20%, dan ringgit Malaysia mengalami kenaikan 0,10%.
Faktor Utama Pelemahan Rupiah dan Mata Uang Asia
Menurut pengamat mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, depresiasi rupiah dan mata uang Asia lainnya dipengaruhi oleh keyakinan pasar bahwa Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam waktu lebih lama.
“Dolar pulih dari kerugian pasca-Fed karena pasar semakin yakin bahwa bank sentral akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama tahun ini, bahkan ketika mempertahankan proyeksi pemotongan 50 basis poin pada tahun 2025.”
“Pasar terlihat memperkirakan lebih sedikit peluang suku bunga turun dalam waktu dekat, terutama karena Fed tidak mengubah suku bunga minggu ini,” ujar Ibrahim dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
The Fed tetap mempertahankan suku bunga acuan setelah pertemuan terbarunya, dengan alasan ketahanan pasar tenaga kerja AS yang masih kuat. Data terbaru menunjukkan bahwa klaim pengangguran AS hanya naik tipis menjadi 223 ribu, dari sebelumnya 221 ribu, menandakan bahwa pasar tenaga kerja masih cukup solid untuk menahan suku bunga tinggi.
Selain itu, meskipun Presiden AS Donald Trump kembali menyerukan agar The Fed segera memangkas suku bunga, bank sentral AS tetap tidak memberikan sinyal perubahan kebijakan dalam waktu dekat.
“Bank sentral tidak mengisyaratkan niat seperti itu selama pertemuannya baru-baru ini, menandai meningkatnya ketidakpastian atas ekonomi, tarif Trump, dan lintasan inflasi. Fed juga menaikkan perkiraan inflasi 2025 dan memangkas prospek pertumbuhannya,” tambah Ibrahim.
Dampak Kebijakan The Fed
Kebijakan The Fed untuk mempertahankan suku bunga tinggi membuat dolar AS semakin kuat, sehingga menekan rupiah dan mata uang negara berkembang lainnya.
Hal ini menyebabkan aliran modal asing lebih cenderung masuk ke aset-aset berbasis dolar, karena imbal hasilnya lebih menarik dibandingkan dengan aset berdenominasi rupiah atau mata uang Asia lainnya.
Kondisi ini juga memperberat tekanan bagi Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas rupiah.
Jika pelemahan rupiah terus berlanjut, BI berpotensi mengambil langkah-langkah intervensi di pasar valuta asing atau mempertimbangkan kebijakan suku bunga yang lebih ketat guna menjaga stabilitas makroekonomi.
Para analis memperkirakan bahwa dalam beberapa waktu ke depan, rupiah masih akan berada dalam tekanan, terutama jika data ekonomi AS terus menunjukkan kekuatan yang membuat The Fed tetap mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi.
Namun, faktor lain yang juga berpotensi mempengaruhi rupiah adalah kebijakan fiskal dan moneter dalam negeri, perkembangan harga komoditas, serta dinamika geopolitik global yang bisa mempengaruhi arus investasi ke Indonesia.***