Kategori
Media Inggris The Economist Rilis Survei Capres : Prabowo Raih Suara 50 Persen
Jakarta – Media asal Inggris, The Economist, baru-baru ini merilis hasil survei terkait tiga calon presiden Indonesia yang akan bersaing dalam Pemilihan Umum 2024. Pada 14 Februari 2024, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini akan menggelar pemungutan suara untuk menentukan penerus Presiden Joko Widodo, yang akan menyelesaikan masa jabatannya setelah dua periode.
Dalam survei elektabilitas per 16 Januari 2024, The Economist mencatat bahwa calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, unggul dengan perolehan suara 50 persen, melampaui dua calon presiden lainnya.
Di peringkat kedua, calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, memperoleh suara sebesar 23 persen, sedangkan calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, berada di peringkat terakhir dengan perolehan suara 21 persen.
The Economist menegaskan bahwa jika tidak ada kandidat yang memenangkan lebih dari 50 persen suara dalam putaran pertama, kontestasi akan dilanjutkan ke putaran kedua pada bulan Juni.
Meskipun demikian, The Economist tidak memberikan detail lebih lanjut tentang jumlah responden, metode pengumpulan data, atau margin of error dari survei yang dilakukan. Dalam laporannya yang berjudul “Who will be the next president of Indonesia?”, media tersebut tidak menyebutkan lembaga survei mana yang menjadi acuan mereka.
The Economist mencatat bahwa meskipun Presiden Joko Widodo mempromosikan pertumbuhan ekonomi, demokrasi di Indonesia tampak mengalami kemunduran, termasuk munculnya kronisme dan dinasti politik. Media tersebut juga memberikan profil singkat tentang rekam jejak Prabowo, Anies, dan Ganjar sebagai calon presiden yang bersaing pada pemilihan presiden 2024.
Dalam profilnya, The Economist menyoroti bahwa Prabowo tidak hanya menerima program pembangunan infrastruktur yang dikenal sebagai “Jokowinomic,” tetapi juga memilih Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, sebagai calon wakil presidennya.
Mengenai Anies Baswedan, media tersebut menyinggung rekam jejak kontroversialnya saat maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada 2017, terutama terkait kampanye yang masuk ke dalam politik identitas yang buruk.
Sementara itu, The Economist menyoroti bahwa Ganjar Pranowo tidak berasal dari dinasti politik yang kuat dan sangat mengandalkan dukungan partai besar, seperti PDI-P dan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.