JAKARTA – Hingga pertengahan tahun 2025, pendapatan negara dari sektor hulu migas masih belum menyentuh setengah dari target tahunan.
Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), total penerimaan negara tercatat mencapai 5,88 miliar dolar AS atau setara dengan Rp95,26 triliun per akhir Juni 2025.
Kepala SKK Migas Djoko Siswanto menuturkan bahwa capaian tersebut masih berada pada kisaran 45,1 persen dari proyeksi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, yang ditetapkan sebesar 13,03 miliar dolar AS atau sekitar Rp211,09 triliun.
“Target (penerimaan negara) 2025 itu 13,03 miliar dolar AS (Rp211,09 triliun), realisasi sampai dengan Juni 5,88 miliar dolar AS atau 45,1 persen (dari target),” ucap Djoko dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (21/7/2025).
Lebih lanjut, Djoko menjelaskan bahwa belum tercapainya separuh target ini tak lepas dari rendahnya harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) yang direalisasikan.
Harga ICP yang dipatok dalam APBN adalah 82 dolar AS per barel, namun realisasi sepanjang semester pertama tahun ini hanya berada pada kisaran 69–70 dolar AS per barel.
Penurunan harga tersebut memberikan dampak langsung terhadap outlook penerimaan negara hingga akhir tahun.
Proyeksi penerimaan negara dari hulu migas diperkirakan akan terkumpul sebesar 10,83 miliar dolar AS (Rp175,45 triliun) atau hanya sekitar 83,1 persen dari target.
“Ini harga minyaknya yang rendah meskipun produksi kita bisa mencapai target,” ucap dia.
Produksi minyak nasional sendiri hingga Juni 2025 telah menyentuh angka 579,3 ribu barel per hari (bph), atau 95,8 persen dari target produksi dalam APBN sebesar 605 ribu bph.
Sementara itu, investasi di sektor hulu migas juga menunjukkan progres meski belum optimal.
Hingga Juni 2025, realisasi investasi telah mencapai 7,19 miliar dolar AS (Rp116,63 triliun), atau 43,6 persen dari target yang dipatok sebesar 16,5 miliar dolar AS (Rp267,3 triliun).
Djoko optimistis tren investasi akan membaik di paruh kedua tahun ini.
“Outlook-nya mudah-mudahan bisa tercapai sesuai dengan target 2025 atau bahkan lebih bisa mencapai 16,9 miliar dolar AS (Rp273,78 triliun) kalau tidak delay proyek-proyek kita,” kata Djoko.
Dalam hal penggantian biaya operasional (cost recovery), hingga pertengahan tahun tercatat telah mencapai 4,48 miliar dolar AS (Rp72,58 triliun), atau 52,7 persen dari alokasi dalam APBN sebesar 8,5 miliar dolar AS (Rp137,7 triliun).
Berdasarkan proyeksi, angka cost recovery hingga Desember 2025 diperkirakan berada pada kisaran 8,2 miliar dolar AS (Rp132,84 triliun), atau 96,5 persen dari pagu yang tersedia.
“Itu sudah mencapai semester I, itu 52,7 persen. Outlook-nya lebih rendah dari target atau sekitar 96,5 persen atau 8,2 miliar dolar AS (Rp132,84 triliun),” kata Djoko.***