JAKARTA – Gempa megathrust adalah ancaman nyata bagi Jakarta, mengingat salah satu zona megathrust terletak di Selat Sunda, sangat dekat dengan Jakarta
Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nuraini Rahma Hanifa, mengungkapkan bahwa potensi gempa megathrust di selatan Jawa dapat terjadi sewaktu-waktu. Gempa ini memiliki kemungkinan memicu tsunami berskala besar, serupa dengan tsunami Aceh pada 2004.
“Potensi megathrust ini dapat memicu goncangan gempa yang besar dan tsunami, yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam,” ungkap Rahma, Sabtu (4/1/2025), seperti dikutip dari situs resmi BRIN.
Hasil riset menunjukkan segmen megathrust di selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik signifikan. Energi tersebut berpotensi memicu gempa berkekuatan magnitudo 8,7 hingga 9,1.
Simulasi yang dilakukan BRIN bersama tim peneliti dari berbagai institusi memproyeksikan jika tsunami terjadi, gelombang bisa mencapai ketinggian 20 meter di pesisir selatan Jawa, 3-15 meter di Selat Sunda, dan sekitar 1,8 meter di pesisir utara Jakarta.
“Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Jika dilepaskan sekaligus, goncangan akan memicu tsunami tinggi yang bisa berdampak luas, tidak hanya di selatan Jawa tetapi juga di wilayah pesisir lainnya,” tambah Rahma.
Rahma juga mengingatkan bahwa ancaman megathrust bukanlah hal baru. Fenomena serupa pernah terjadi, seperti tsunami Pangandaran pada 2006 yang dipicu oleh longsoran bawah laut di dekat Nusa Kambangan.
Untuk menghadapi ancaman ini, BRIN menekankan pentingnya mitigasi melalui pendekatan struktural dan non-struktural. Pendekatan struktural meliputi pembangunan tanggul penahan tsunami, pemecah ombak, serta penataan ruang di kawasan pesisir dengan memperhatikan jarak aman minimal 250 meter dari bibir pantai.
“Pembangunan hutan pesisir atau vegetasi alami seperti pandan laut dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” jelasnya.
Sementara itu, pendekatan non-struktural melibatkan edukasi mitigasi bencana, pelatihan simulasi evakuasi, dan penyediaan jalur serta lokasi evakuasi yang memadai.
“Kita harus memastikan bahwa masyarakat memiliki pemahaman tentang potensi bahaya tsunami, sistem peringatan dini yang efektif, serta kemampuan merespons dengan cepat,” ujarnya.
Bagi wilayah perkotaan seperti Jakarta, yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan kondisi sedimen tanah yang rentan memperkuat guncangan, upaya mitigasi gempa mencakup penguatan struktur bangunan melalui retrofitting.
“Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa,” tambah Rahma.
Berdasarkan penelitian paleotsunami, BRIN mengidentifikasi bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang sekitar 400-600 tahun. Dengan kejadian terakhir diperkirakan terjadi pada 1699, energi yang terkumpul saat ini telah mendekati titik kritis.
“Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa,” tegas Rahma.