RUTENG, NTT – Sebanyak 37 pekerja PT Floresco Aneka Indah, perusahaan konstruksi ternama di Jalan Adisucipto No. 22, Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, menggugat keadilan ke Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia.
Melalui surat resmi bertanggal 20 Mei 2025, yang ditandatangani oleh Heronimus Nadur, Agustinus Syukur, Benediktus Handu, dan Lodoviktus Mangkur, mereka meminta perlindungan hukum atas pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa pesangon, yang melanggar regulasi ketenagakerjaan Indonesia.
Kronologi konflik bermula pada 30 Oktober 2024, saat perusahaan mengumumkan perumahan sementara dengan alasan ketiadaan proyek aktif.
Sejak November 2024, gaji para pekerja terhenti. Pada 12 Maret 2025, Direktur PT Floresco, Fransiskus Cristian Sumito, menyatakan perumahan tanpa batas waktu, menawarkan opsi PHK, pengunduran diri, atau pensiun.
Namun, harapan pekerja untuk mendapatkan pesangon sirna ketika hanya satu karyawan, Elvis Dokubani, menerima surat PHK tanpa rincian pesangon pada 15 Maret 2025, sementara lainnya hanya diberi surat pengalaman kerja.
Mediasai Gagal Berkali-Kali
Melansir OkeBajo, upaya mediasi melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Manggarai sepanjang April-Mei 2025 berujung buntu.
Sebanyak enam sesi—empat bipartit dan dua tripartit—gagal karena sikap perusahaan yang menolak kehadiran kuasa hukum pekerja dan ketidakseriusan menawarkan solusi.
Bahkan, tawaran pesangon sebesar ¾ dari hak normatif oleh kuasa hukum perusahaan, Erlan Yusran, tidak ditindaklanjuti.
Total hak pekerja, termasuk pesangon, gaji tertunggak, iuran BPJS, dan selisih upah di bawah UMP, mencapai Rp1.104.552.009, sesuai UU Cipta Kerja dan PP No. 35/2021.
Kuasa hukum buruh, Makarius Paskalis Baut, S.H., mengecam keras sikap PT Floresco yang dinilai tidak menghormati hak-hak dasar pekerja.
Bahkan, meski sempat ada tawaran dari pihak perusahaan melalui kuasa hukum mereka, nominal pesangon yang ditawar tidak ditindaklanjuti secara resmi.
“PT Floresco Aneka Indah ini bukan perusahaan kecil. Mereka punya sejarah panjang dan dikenal sebagai pemain besar di sektor konstruksi di wilayah NTT.”
“Maka sangat ironis jika hari ini mereka berdalih tak sanggup membayar pesangon kepada 37 pekerjanya, padahal mereka adalah tulang punggung perusahaan selama bertahun-tahun,” tegas Paskalis, Senin (2/6/2025).
Angka Pesangan Rp1 Miliar Bukan Tanpa Dasar
Menurut Paskalis, besaran pesangon yang dituntut oleh para buruh, yaitu lebih dari Rp1 miliar, bukan angka yang muncul tanpa dasar.
“Itu hasil perhitungan normatif yang mengacu langsung pada regulasi yang berlaku, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja dan PP Nomor 35 Tahun 2021. Kami tidak minta lebih, hanya hak yang seharusnya mereka terima. Jangan Gunakan Dalih Efisiensi untuk Menindas Hak Pekerja” tegasnya.
Selain itu, Paskalis menilai alasan efisiensi yang dikemukakan perusahaan justru memperlihatkan ketidakseriusan manajemen dalam menangani persoalan ini secara manusiawi dan profesional.
“Efisiensi itu bukan dalih untuk membuang orang yang sudah mengabdi puluhan tahun lalu menghilangkan hak mereka begitu saja. Kalau tidak bisa menghormati pekerjanya, sebaiknya jangan menjalankan usaha di negeri ini,” tambahnya.
Paskalis menyoroti ketidakseriusan PT Floresco dalam mediasi, dengan perusahaan kerap mangkir dari tanggung jawab.
“Empat kali bipartit gagal, dua kali tripartit juga mentok. Bukan karena buruhnya tidak terbuka, tapi karena perusahaan terus-menerus menghindar dari tanggung jawab substansial: membayar pesangon sesuai ketentuan,” ungkapnya.
Soal Martabat dan Keadilan Buruh
Lebih jauh Paskalis menegaskan, kini menyiapkan audiensi dengan Kemenaker, menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar soal uang, melainkan martabat dan keadilan buruh.
“Kalau perusahaan sebesar PT Floresco boleh bebas seenaknya melanggar hak pekerja, maka habislah sudah perlindungan hukum untuk buruh-buruh kecil di daerah,” tutupnya.
Hingga berita ini tayang, Direktur PT Floresco, Fransiskus Cristian Sumito, belum memberikan tanggapan meski telah dihubungi.
Kasus ini menjadi sorotan sebagai cerminan tantangan perlindungan hak pekerja di daerah, dengan harapan Kemenaker dapat memberikan solusi tegas demi keadilan.***