KINSHASA, KONGO – Pemerintah Republik Demokratik Kongo baru-baru ini mengumumkan larangan terhadap demonstrasi di ibu kota, Kinshasa, setelah serangkaian protes besar-besaran yang menargetkan sejumlah kedutaan besar, termasuk kedutaan Prancis dan Amerika Serikat.
Keputusan tersebut disampaikan oleh Gubernur Kinshasa, Daniel Bumba, dalam pidato kepada publik pada Selasa malam, 28 Januari 2025. Bumba menjelaskan bahwa langkah ini diambil untuk menjaga ketertiban setelah protes yang mengarah pada kekerasan.
Menurut Bumba, larangan ini akan mulai berlaku pada Rabu, 29 Januari 2025, dan ia mengimbau warga Kinshasa untuk tetap melanjutkan aktivitas normal mereka, tanpa gangguan. Sementara itu, setelah kekacauan yang terjadi, Kedutaan Besar AS di Kinshasa ditutup, dengan otoritas AS menyerukan agar warganya meninggalkan Kongo demi keselamatan mereka.
Di sisi lain, insiden ini memicu kecaman dari pejabat Kongo terhadap negara tetangga Rwanda. Wakil Menteri Dalam Negeri Kongo, Eugenie Kamba, dalam sebuah video yang diunggah di media sosial, menyalahkan Rwanda atas serangan terhadap kedutaan-kedutaan tersebut, yang semakin memperburuk ketegangan yang ada.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, terlibat dalam percakapan telepon dengan Presiden Rwanda, Paul Kagame, untuk mendesak penghentian permusuhan segera di wilayah Kongo timur. Rubio menekankan kekhawatiran mendalam Amerika Serikat terkait meningkatnya ketegangan yang dipicu oleh penguasaan Goma, ibu kota Provinsi Kivu Utara, oleh kelompok bersenjata M23 yang diduga mendapat dukungan dari Rwanda. Rubio juga menyerukan agar semua pihak menghormati kedaulatan dan integritas teritorial Kongo.
Dalam keterangannya, Presiden Kagame menggambarkan percakapan dengan Rubio sebagai langkah positif, dengan penekanan pada perlunya gencatan senjata di Kongo timur serta penyelesaian akar masalah yang mendalam untuk menghindari eskalasi lebih lanjut.
Di tengah pertempuran yang masih berkecamuk, kelompok M23, yang dituduh mendapat dukungan dari Rwanda, mempertinggi serangannya di Kongo timur. Sejak minggu lalu, serangan tersebut telah menyebabkan setidaknya 42 korban jiwa, termasuk 17 pasukan penjaga perdamaian asing, dengan ratusan lainnya terluka. Situasi semakin memburuk, dengan ribuan orang mengungsi akibat kekerasan yang terus berlanjut.
Di sisi lain, pihak Rwanda mengklaim bahwa beberapa warganya tewas dalam baku tembak lintas batas yang terjadi di sekitar Goma. Menteri Luar Negeri Kongo, Therese Kayikwamba Wagner, memberikan laporan kepada Dewan Keamanan PBB, mengungkapkan bahwa lebih dari 100 orang terluka dan telah diterima di pusat-pusat kesehatan, sementara lebih dari setengah juta orang terpaksa mengungsi karena konflik yang terus berkecamuk.
Dalam perkembangan terakhir, pejabat Kongo menegaskan bahwa pasukan pemerintah, yang dibantu oleh pasukan penjaga perdamaian PBB dan Afrika Selatan, terus bertahan dalam pertempuran di Goma, meski situasi semakin tidak menentu. Kelompok M23 sendiri mengklaim bahwa perjuangan mereka terkait dengan penolakan terhadap diskriminasi terhadap komunitas Tutsi di wilayah tersebut, yang menurut mereka tidak direspon dengan serius oleh pemerintah Kongo.
Dengan latar belakang kekerasan yang semakin meluas dan ketegangan internasional yang meningkat, konflik di Kongo timur semakin menunjukkan kompleksitas yang sulit dipecahkan, dengan dampak yang sangat besar bagi stabilitas kawasan dan keamanan internasional.




