JAKARTA – Amerika Serikat (AS) resmi memberlakukan tarif impor baru sebesar 19% terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia mulai Kamis (7/8/2025). Kebijakan ini menjadi bagian dari strategi perdagangan resiprokal AS yang menyasar 92 negara mitra dagang, termasuk Indonesia, guna menyeimbangkan neraca perdagangan global.
Menurut laporan, kebijakan ini merupakan hasil negosiasi panjang antara Indonesia dan AS. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa tarif ini berhasil diturunkan dari usulan awal sebesar 32%.
“Sosialisasi sudah dilakukan kepada Kadin dan para eksportir, seperti halnya saat tarif 10% diberlakukan sebelumnya,” ujar Airlangga di Istana Negara, Rabu (6/8/2025).
Dampak pada Ekspor Indonesia
Tarif impor ini diprediksi akan memengaruhi sejumlah sektor ekspor utama Indonesia, seperti tekstil, alas kaki, minyak kelapa sawit, dan karet. Meski demikian, komoditas tembaga disebut berpotensi mendapat pengecualian atau tarif lebih rendah, seiring rencana AS untuk memanfaatkan tembaga berkualitas tinggi dari Indonesia.
Di kawasan ASEAN, Indonesia bukan satu-satunya yang terdampak. Negara seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Kamboja juga menghadapi kebijakan serupa. Namun, Singapura menjadi pengecualian dengan tarif impor lebih rendah, yakni 10%.
Langkah Antisipasi Pemerintah
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif dengan mengintensifkan sosialisasi kepada pelaku usaha sejak isu tarif ini mencuat. Airlangga menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya melindungi kepentingan eksportir melalui dialog dan negosiasi. “Kami telah bernegosiasi keras untuk menekan tarif dari 32% menjadi 19% demi menjaga daya saing produk Indonesia di pasar AS,” tambahnya.
Tantangan dan Peluang
Kebijakan ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, terutama terkait daya saing produk Indonesia di pasar AS. Namun, pemerintah optimistis dapat memanfaatkan peluang dengan mendorong diversifikasi pasar ekspor ke negara lain, seperti Peru, Kanada, dan India, untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Analis ekonomi menilai, meski tarif ini dapat menekan ekspor dalam jangka pendek, langkah strategis seperti penguatan pasar domestik dan optimalisasi perjanjian perdagangan bilateral dapat memitigasi dampaknya. “Indonesia perlu segera memperluas pasar ekspor dan memperkuat industri lokal agar tetap kompetitif,” ujar seorang ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios).
Pemerintah Indonesia kini tengah mengevaluasi dampak jangka panjang kebijakan ini sembari terus menjalin komunikasi dengan AS untuk memastikan hubungan perdagangan yang saling menguntungkan. Pelaku usaha diminta tetap waspada dan memanfaatkan fasilitasi pemerintah untuk menghadapi tantangan ini.




